Api di Bukit Menoreh
Buku 297 (Seri III Jilid 97)
admin
11 tahun yang lalu
Iklan
Pada hari pertama, kedua pasukan yang besar dari Mataram dan Pati seakan-akan masih tetap dalam keseimbangan. Kedua Senapati Agung dari kedua pasukan itu masih belum langsung turun ke medan. Keduanya masih mengendalikan pertempuran dari kepala gelar mereka masing-masing.
Meskipun korban telah berjatuhan di kedua belah pihak, tetapi kekuatan kedua pasukan itu rasa-rasanya masih belum menjadi susut. Sampai saatnya matahari turun, pertempuran masih bergelora dengan garangnya.
Namun kedua belah pihak terikat oleh kesadaran untuk menepati tatanan perang yang berlaku. Ketika matahari kemudian turun ke balik pegunungan, maka kedua belah pihak telah bersiap-siap untuk menghentikan pertempuran.
Mereka tidak dapat dengan serta merta menundukkan senjata mereka. Bagaimanapun juga mereka masih harus tetap berhati-hati. Betapapun jantannya hati seorang prajurit, namun mereka mungkin saja sulit mengekang diri pada saat-saat yang paling menentukan, meskipun sangkakala sudah mengumandang menggetarkan udara medan pertempuran.
Namun akhirnya Panembahan Senapati dan Kanjeng Adipati Pragola dari Pati telah memerintahkan pasukannya untuk mundur dari garis benturan, yang seakan-akan tidak bergeser dari tempatnya sejak pertempuran itu terjadi.
Namun pada saat-saat terakhir ternyata ujung cambuk Swandaru masih mampu menggapai lengan lawannya, sesaat sebelum sangkakala mengumandang di atas medan. Lengan itu telah terkoyak dan darah pun mengalir dengan derasnya.
Swandaru memang menjadi sangat kecewa bahwa ia tidak mempunyai lebih banyak kesempatan. Demikian lawannya terdorong surut dan terhuyung-huyung, maka dua orang prajurit Pati telah menangkap tubuh itu dan membawanya, hilang tertelan oleh gelombang para prajurit yang bertaut seperti air yang disibakkan oleh badan biduk yang meluncur di wajah air itu.
Tetapi Swandaru tidak sempat memburu dengan menembus lapisan prajurit yang menakup di hadapan Senapati yang terluka itu, sementara pertempuran seakan-akan telah terhenti. Kedua pasukan bergerak mundur ke arah yang berlawanan.
“Jika saja sangkakala itu tidak menyelamatkan nyawanya,” geram Swandaru.
Ketika malam turun, maka seperti yang terjadi di sebelah utara Mataram di sebelah timur Kali Code, beberapa kelompok prajurit dari kedua belah pihak telah menelusuri bekas medan pertempuran. Kelompok-kelompok prajurit dan pengawal yang mencari korban yang telah jatuh selama pertempuran berlangsung.
Seperti juga di sebelah utara Mataram, kelompok-kelompok prajurit yang berpihak Mataram dan Pati sama sekali tidak saling mengganggu. Mereka justru saling membantu menemukan korban dari kedua belah pihak.
Ketika malam menjadi semakin dalam dan pekerjaan mereka sudah hampir selesai, Agung Sedayu yang ikut berada di bekas medan itu sempat duduk berbincang dengan seorang Lurah prajurit dari Pati.
“Anakku semuanya sebelas orang dan masih kecil-kecil,” kata Lurah prajurit dari Pati itu. Hampir di luar sadarnya ia bertanya kepada Agung Sedayu, Brapakah anak Ki Sanak? Ki Sanak adalah seorang Lurah Prajurit yang terhitung masih muda.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Api di Bukit Menoreh seri Ketiga
Ficção Históricasambungan dari seri pertama dan seri kedua dimulai sari bagian 286 dan seterusnya sampai kuota tulisan habis