391

315 13 0
                                    

Api di Bukit Menoreh

Buku 391 (Seri IV Jilid 91)

 admin

11 tahun yang lalu

Iklan

Ternyata Prastawa yang masih terhitung muda itu tidak sabar lagi. Ia pun telah menarik pedangnya sambil berkata, “Jika ada di antara kalian yang terbunuh, itu bukan salahku.”

“Persetan dengan kalian,” geram pemimpin pengawal itu. Yang dilihatnya hanya seorang saja di antara empat orang yang datang dari Tanah Perdikan itu yang bersenjata.

Namun ketika para pengawal itu mengacu-acukan senjata mereka, Ki Jayaraga pun telah memungut cangkulnya sambil berkata, “Senjataku ini jauh lebih baik dan senjata-senjata kalian.”

Tetapi para pengawal itu tidak menghiraukannya. Mereka pun dengan serta-merta telah menyerang orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh itu.

Tetapi pada benturan pertama, orang-orang yang menyerang Ki Jayaraga telah kehilangan senjata mereka. Cangkul Ki Jayaraga itu berputar dengan cepat, menyambar senjata-senjata yang teracu kepadanya. Karena kemampuan Ki Jayaraga yang tinggi serta tenaga dalamnya yang besar, maka beberapa pucuk senjata telah terlepas dan terpelanting jatuh.

Sedangkan Prastawa yang memiliki ilmu pedang yang tinggi itu pun telah membingungkan lawannya. Serangan yang datang dari beberapa arah mampu dihindari dan ditangkisnya dengan pedangnya. Bahkan benturan yang terjadi telah membuat lawannya menjadi semakin gelisah.

Namun tiba-tiba saja pertempuran itu terhenti. Beberapa orang pengawal pesanggrahan itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar ledakan cambuk Ki Rangga Agung Sedayu yang bagaikan ledakan petir di langit.

Orang-orang upahan yang mengawal pesanggrahan itu pun di luar sadar mereka telah berloncatan mundur

“Aku dapat membunuh dua tiga orang sekaligus,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu, “demikian pula saudara-saudaraku yang lain. Karena itu, jangan salah langkah, karena akibatnya akan menjadi sangat buruk bagi kalian.”

Orang-orang itu pun masih saja berdiri termangu-mangu.

“Dengar. Aku akan mengulangi pesanku. Pergilah. Sampaikan kepada Ki Tumenggung bahwa aku ingin bertemu. Sebenarnya aku akan datang menemuinya besok pagi. Tetapi kalian telah menyumbat lagi parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya. Sekarang kami akan membuka parit kami, agar airnya dapat mengairi sawah kami yang sudah mulai haus. Tanaman-tanaman di sawah sedang membutuhkan air.”

Ternyata Ki Jayaraga tidak menunggu Ki Rangga Agung Sedayu selesai berbicara. Ia pun segera mengayunkan cangkulnya, membuka parit yang tersumbat itu.

Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas. Tetapi ia dapat mengerti, bahwa hubungan Ki Jayaraga dengan air menjadi sangat erat, karena hampir setiap saat Ki Jayaraga berada di antara tanaman di sawah.

“Sekarang pergilah,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu, “katakan kepada Ki Tumenggung bahwa aku, Agung Sedayu, ingin bertemu dan berbicara tentang air yang naik dari bendungan Pucung. Air itu tidak terlalu banyak, karena sungainya pun bukan sungai yang besar pula. Karena itu kami harus mengatur pembagian air sebaik-baiknya. Semua yang membutuhkan dapat terpenuhi dan tidak saling merugikan.”

Api di Bukit Menoreh seri KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang