332

390 19 0
                                    

Api di Bukit Menoreh

Buku 332 (Seri IV Jilid 32)

 admin

11 tahun yang lalu

Iklan

Ad

Namun ketika Ki Ambara bertekad untuk segera membalas kematian Wiyati, ternyata bahwa lawannya bukan seorang yang mudah dikalahkannya.

Ketika Ki Ambara meningkatkan ilmunya, maka Ki Jayaraga pun telah melakukan hal yang sama. Dengan demikian maka Ki Jayaraga masih saja tetap mampu mengimbangi kemampuan Ki Ambara.

Dalam pada itu, Swandaru dan Pandan Wangi yang tidak terikat lagi dalam pertempuran melawan orang yang berilmu tinggi, telah banyak menghentikan perlawanan para pengikut Ki Saba Lintang. Beberapa orang laki-laki yang berwajah garang, mencoba bersama-sama menyerang Swandaru dan Pandan Wangi. Namun mereka tidak berhasil menyingkirkan kedua orang itu dari arena.

Seorang di antara mereka yang bertubuh raksasa bertempur dengan bindi yang besar di tangannya. Namun bindi yang besar itu kadang-kadang justru menjadi kebingungan untuk melawan pedang tipis Pandan Wangi. Apalagi cambuk Swandaru yang masih saja menghentak-hentak dengan bunyi yang memekakkan telinga. Nampaknya Swandaru tidak tergesa-gesa meningkatkan ilmunya sampai tataran yang tinggi, yang membuat hentakan cambuknya tidak lagi menggelegar seperti suara guruh di saat udan salah mangsa.

Namun suara cambuk Swandaru yang gemuruh dan bahkan hampir memekakkan telinga itu nampaknya berhasil membuat para pengikut Ki Ambara itu menjadi sangat gelisah.

“Jangan takut kepada suara cambuk itu!” teriak Ki Ambara, “Suara cambuk itu tidak lebih menggetarkan jantung dari suara cambuk para gembala di padang rumput. Jika iring-iringan gembala itu akan menyimpang, maka para gembalanya telah menghentakkan cambuk mereka, sehingga suaranya memekakkan telinga.”

Swandaru juga mendengarnya. Tetapi ia tidak menghiraukannya. Bagi para pengikut Ki Ambara, hentakan-hentakan yang meledak-ledak itu mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada cambuk itu tidak meledak sama sekali. Jarang para pengikut Ki Ambara yang dapat menilai ledakan cambuk itu, selain suaranya yang mengguntur.

Swandaru sendiri memang tidak ingin membunuhi lawan-lawannya. Jika ia meningkatkan ilmunya, maka sentuhan ujung cambuknya akan dapat mengelupas kulit daging sampai ke tulang. Tetapi jika cambuknya justru meledak-ledak, maka ujungnya hanya mampu mengoyak kulit dan menimbulkan luka di permukaan.

Dalam pada itu, maka kecemasan mulai merambah jantung Ki Ambara sepeninggal Wiyati dan Nyi Kanthil Kuning. Tidak ada yang dapat menahan Pandan Wangi dan bahkan Swandaru.

Karena itu, maka Ki Ambara itu pun berniat untuk dengan cepat menyelesaikan lawannya yang berasal dari Tanah Perdikan Menoreh itu.

Tetapi ternyata bahwa yang terjadi tidak seperti yang dikehendaki.

Demikian pula Ki Ajar Mawanti yang telah bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya melawan Empu Wisanata. Ternyata bahwa Ki Ajar Mawanti pun tidak mampu menyelesaikan tugasnya. Empu Wisanata ternyata adalah seorang yang berilmu tinggi pula.

Dalam pada itu, baik di arah depan maupun di arah belakang perkemahan, pasukan Ki Saba Lintang menjadi semakin terjepit. Orang-orang berilmu tinggi yang ada di dalam pasukannya, ternyata tidak mampu mengimbangi kemampuan lawan-lawan mereka. Bahkan para prajurit yang dipimpin Untara itu semakin lama menjadi semakin mendesak, sehingga ruang gerak pasukan Ki Saba Lintang dan Ki Ambara itu menjadi semakin sempit.

Api di Bukit Menoreh seri KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang