319

388 17 0
                                    

Api di Bukit Menoreh

Buku 319 (Seri IV Jilid 19)

 admin

11 tahun yang lalu

Iklan

Ad

Bengkring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Selamat tinggal, Suranata.”

Suranata tidak menjawab. Bengkring itu pun kemudian melangkah meninggalkannya. Sekali ia masih berpaling dan berkata, “Orang-orang lain yang tertinggal akan berbesar hati karena kau juga tidak pergi, Suranata.”

Suranata tidak menjawab lagi.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, perkemahan itu menjadi sepi. Bengkring telah berjalan menyusul kawan-kawannya yang berjalan lebih dahulu. Namun seperti yang dikatakannya, mereka berjalan seperti siput. Beberapa pedati tersuruk-suruk menyusuri jalan yang tidak begitu rata, sehingga orang-orang yang ada di dalamnya justru terguncang-guncang.

Ternyata tidak semua kelompok atau gerombolan yang berada di medan sebelah barat itu berniat untuk singgah di perkemahan pasukan yang berada di sisi utara. Ada di antara mereka yang langsung menjauhi perbatasan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mencari jalan lain untuk sampai ke Gunung Tidar.

Namun ada pula di antara mereka yang ingin bertemu dengan kelompok-kelompok yang berada di sisi utara Tanah Perdikan Menoreh, untuk membicarakan langkah-langkah mereka selanjutnya.

Suranata yang tertinggal di barak perkemahan masih berbaring diam. Namun kemudian ia pun mencoba untuk bangkit perlahan-lahan. Suranata itu sadar sepenuhnya, jika ia terlalu banyak bergerak, maka darahnya akan mengucur lagi dari luka-lukanya yang mulai mampat.

Ketika ia sampai di ruang yang panjang, dilihatnya beberapa orang berbaring sambil merintih kesakitan. Seorang yang terluka parah, mengerang sambil memanggil-manggil sebuah nama. Namun tidak seorang pun yang datang mendekatinya, karena orang-orang lain yang ada di ruang itu hampir tidak mampu beringsut dari pembaringannya. Selembar ketepe blarak yang sudah mulai kering.

Suranata-lah yang melangkah hati-hati mendekati orang yang mengerang itu. Sambil duduk di sebelahnya, Suranata pun bertanya, “Siapa yang kau panggil?”

“Kakang Semu.”

“Siapakah yang bernama Semu?”

“Ia yang mengajakku pergi kemari. Ia-lah yang menjanjikan sebuah tanah yang luas dan subur. Airnya melimpah tanpa batas. Berapapun luasnya tanah yang ingin digarapnya, tidak akan ada batasnya.”

“Kau menyesal?”

“Hanya orang gila yang tidak menyesal. Aku telah berjuang untuk merebut tanah yang dijanjikannya. Tetapi inilah yang aku dapatkan. Dalam keadaan terluka parah, Semu pergi meninggalkan aku. Dibiarkannya aku kehausan, dan besok aku akan mati di sini tanpa seorangpun yang mengurus tubuhku yang membeku. Burung-burung pemakan bangkai yang mencium bau mayat yang bertebaran di sini, akan segera berdatangan mengoyak tubuhku sampai lumat.”

“Kita masih dapat menunggu keajaiban. Sepanjang kita masih bernafas, maka keajaiban itu masih akan dapat terjadi.”

“Semuanya sudah pergi.”

Api di Bukit Menoreh seri KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang