372

310 14 0
                                    

Api di Bukit Menoreh

Buku 372 (Seri IV Jilid 72)

 admin

11 tahun yang lalu

Iklan

“Aku tidak menantang, Ki Sanak. Kami hanya menolak untuk digeledah.”

Tetapi yang tertua di antara laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itu pun menyela, “Kenapa kau keberatan? Kami sama sekali tidak berkeberatan. Biarkan mereka menggeledah kita. Dengan demikian, maka persoalannya akan cepat selesai, sehingga kita akan dapat melanjutkan perjalanan.”

“Tetapi menggeledah kita itu berarti merendahkan harga diri kita. Meskipun kita tidak membawa apa-apa, tetapi dengan membiarkan mereka menggeledah kita, maka kita sudah menundukkan kepala kita di bawah kaki mereka.”

“Ki Sanak,” berkata laki-laki tertua itu, “ayahku sedang sakit. Kau jangan menambah beban persoalan kami.”

“Tetapi kita harus mempertahankan harga diri kita.”

“Jika demikian, terserah kepada kalian berdua. Jangan melihatkan kami berempat. Kehadiran Ki Sanak berdua ternyata hanya akan mempersulit keadaan.” Orang itu pun kemudian berkata kepada orang-orang yang menghentikan mereka itu, “Geledahlah kami berempat. Kami tidak keberatan. Kedua orang ini bukan keluarga kami. Kami hanya secara kebetulan berjalan bersama-sama.”

“Siapa saja yang kau sebut berempat itu?”

Orang itu pun kemudian minta kepada keluarganya untuk memisahkan diri dari Glagah Putih dan Rara Wulan. Katanya, “Maaf, Ki Sanak, bukan maksud kami untuk tidak saling menolong, tetapi kami ingin persoalan ini segera selesai, agar kami dapat segera melanjutkan perjalanan.”

Glagah Putih itu pun mengangguk-angguk sambil menjawab, “Aku mengerti, Ki Sanak. Karena itu maka silahkan. Lakukanlah yang terbaik bagi Ki Sanak. Tetapi kami berdua tidak akan mengizinkan orang-orang itu menggeledah kami.”

Pemimpin dari para penyamun itu menjadi marah. Dengan geram ia pun berkata, “Kau sangat sombong, Ki Sanak. Kau hanya berdua dengan seorang perempuan. Kau mau apa? Jika kau menolak untuk digeledah, maka kami akan mempergunakan kekerasan. Penolakanmu bagi kami adalah satu isyarat bahwa kau berdua tentu membawa barang-barang berharga.”

“Ya,” jawab Rara Wulan, di luar dugaan para penyamun dan bahkan empat orang yang akan pergi ke Cupu Watu. “Kami membawa uang dan perhiasan. Karena itu kami berdua menolak digeledah. Jika kalian menggeledah kami, maka kalian akan menemukan beberapa kampil uang yang kami bawa, serta perhiasan yang aku kenakan.”

“Iblis betina, kau. Kenapa kau berkata seperti itu?”

“Kalau kami sudah berani membawa uang beberapa kampil, serta mengenakan perhiasan yang mahal harganya, lewat di sebelah hutan Tambak Baya, tentu kami pun siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, minggirlah. Jangan ganggu kami. Atau kami akan memaksa kalian berlutut di hadapan kami.”

Kemarahan pemimpin penyamun itu telah membakar ubun-ubunnya. Dengan geram ia pun berkata, “Biarlah keempat orang itu melanjutkan perjalanannya. Tetapi yang dua orang ini akan menjadi makanan kita malam ini.”

“Jangan mencari perkara, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “aku peringatkan kalian sekali lagi.”

“Persetan,” geram pemimpin penyamun itu, “ambil uang dan perhiasannya. Jika mereka menolak, bunuh mereka berdua.”

Api di Bukit Menoreh seri KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang