Api di Bukit Menoreh
Buku 339 (Seri IV Jilid 39)
admin
11 tahun yang lalu
Iklan
Ad
Ki Wurcitra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Entahlah.”
Mata Nyi Citra Jati itu pun kemudian menjadi redup.
“Sudahlah. Silahkan beristirahat.”
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun kemudian dipersilahkan tidur di sentong sebelah kiri. Sementara Ki Wurcitra sendiri di sentong sebelah kanan. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan tidur di amben yang besar di ruang dalam.
“Maaf, Ngger. Tidak ada tempat yang lebih baik bagi kalian berdua.”
“Tempat ini sudah cukup baik bagi kami, Uwa,” sahut Glagah Putih.
Demikianlah, maka sejenak kemudian rumah itu menjadi sepi. Glagah Putih dan Rara Wulan berbaring menepi di sebuah amben bambu yang agak besar.
“Tidurlah,” bisik Glagah Putih.
“Bagaimana dengan Kakang?”
“Aku juga akan tidur. Tetapi biarlah nanti sebentar. Kita tidak tahu, apakah Srini akan kembali atau tidak. Kita tidak boleh menjadi lengah.”
“Baiklah, Kakang. Nanti biarlah gantian. Di dini hari, bangunkan aku, jika aku tidak terbangun sendiri.”
Glagah Putih tidak menjawab. Namun meskipun ia juga berbaring, tetapi matanya tidak terpejam. Sementara itu, Rara Wulan pun telah tertidur. Nafasnya mengalir dengan irama yang ajeg. Glagah Putih sendiri tetap bertahan untuk tidak tidur. Ia merasa berada di tempat yang berbahaya. Setiap saat, kesulitan akan dapat saja datang. Namun telinga Glagah Putih yang tajam juga mendengar setiap kali Ki Citra Jati berdesah. Agaknya Ki Citra Jati juga tidak tidur di dalam biliknya.
Malam pun kemudian berlalu dengan lamban. Suara derik belalang di kebun belakang terdengar semakin jelas. Sayap kelelawar yang mengepak di pohon sawo di sebelah rumah terdengar beruntun berurutan. Agaknya ada beberapa ekor kelelawar yang sedang mencari sawo yang sudah matang.
Sekali-sekali terdengar sawo terjatuh lepas dari genggaman seekor kelelawar.
Di dini hari, ternyata tanpa dibangunkan Rara Wulan telah terbangun sendiri. Sambil mengusap matanya ia pun berdesis, “Kau belum tidur Kakang?”
“Tidurlah,” desis Glagah Putih.
“Aku sudah tidur terlalu lama. Kau saja-lah yang tidur sekarang. Masih ada waktu sedikit, daripada sama sekali tidak tidur, Kakang.”
Glagah Putih mengangguk kecil. Ia mendengar suara Ki Wurcitra batuk-batuk kecil.
Dengan demikian Glagah Putih pun mengetahui bahwa Ki Wurcitra sudah bangun pula. Sehingga karena itu, maka Glagah Putih menjadi lebih tenang.
Glagah Putih memang sempat tidur sejenak. Namun ketika terdengar ayam jantan berkokok menjelang fajar, maka Glagah Putih pun telah terbangun.
Berdua bersama Rara Wulan keduanya pergi ke dapur. Menyalakan api dan merebus air untuk membuat wedang jahe. Rara Wulan sudah tahu, dimana jahe dan gula kelapanya disimpan, sehingga Rara Wulan pun tidak perlu menunggu Ki Wurcitra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Api di Bukit Menoreh seri Ketiga
Historical Fictionsambungan dari seri pertama dan seri kedua dimulai sari bagian 286 dan seterusnya sampai kuota tulisan habis