394

275 11 0
                                    

Api di Bukit Menoreh

Buku 394 (Seri IV Jilid 94)

 admin

11 tahun yang lalu

Iklan

“Jangan. Lalu dari mana kami mendapatkan dana bagi kepentingan kademangan dan padukuhan kami?”

“Itu adalah urusan kalian. Jika kalian tidak ingin terjadi, maka kalian harus menepati kewajiban kalian tentang pajak yang harus kalian bayar.”

“Ki Lurah,” berkata Ki Demang, “kami tidak dapat memutuskan sekarang. Kami akan berbicara dahulu dengan para bebahu kademangan dan padukuhan ini.”

“Apa yang akan kalian bicarakan? Cara untuk mendapatkan uang yang akan kalian pergunakan membayar pajak, atau cara untuk apa?”

“Masalah pajak itu sendiri.”

“Apa yang harus dibicarakan tentang pajak itu? Kalian harus membayarnya! Tidak ada jawaban lain. Itu pun harus kalian lakukan segera. Hari ini atau besok. Kami tidak mempunyai banyak kesempatan untuk mengurusi pajak kalian. Pekerjaan kami terlalu banyak. Apakah kalian kira tugas kami hanya mengurusi kalian?”

“Bukan begitu, Ki Lurah. Tetapi kami memerlukan waktu.”

“Ki Demang dan Ki Bekel, aku tidak mau tahu persoalan di antara kalian. Besok aku akan datang lagi. Jika besok kalian belum membayar pajak itu, maka orang-orangku ini akan menangkap kalian dan membawa kalian menghadap Ki Panji di Ngadireja.”

“Ki Lurah. Kami juga tidak tahu berapa banyak biaya yang dikeluarkan sebenarnya oleh Pangeran Jayaraga. Pangeran Jayaraga memang meninggalkan sejumlah uang. Tetapi selain yang kami keluarkan untuk membeli bahan-bahan bangunan, batu, batu bata, kayu dan yang lain-lain, orang-orang yang dikirim oleh Pangeran Jayaraga itu juga mengeluarkan uang bagi keperluan itu.”

“Besok aku akan menaksir berapa biaya pintu gerbang itu. Dengan demikian maka kami akan menentukan besar biaya yang harus kalian bayar.”

Ki Demang dan Ki Bekel nampak menjadi bingung. Beberapa orang yang mengerumuninya pun tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Yang memberikan perintah itu seorang lurah prajurit dan datang bersama beberapa orang prajuritnya.

Tetapi menurut pendapat orang-orang yang berkerumun itu, perintah lurah prajurit itu benar-benar tidak masuk akal. Namun lurah prajurit itu membawa wewenang dan kuasa dari Ki Panji di Ngadireja.

Tetapi tiba-tiba orang-orang yang berkerumun itu terkejut, ketika tiba-tiba saja dua orang, laki-laki dan perempuan, telah menyibak orang-orang yang berkerumun itu. Demikian ia berdiri di depan Ki Lurah, laki-laki itu pun berkata, “Aku setuju Ki Bekel dan Ki Demang menghadap Ki Panji di Ngadireja. Aku bersedia menyertai mereka.”

“Kau siapa, he?”

“Aku penghuni padukuhan ini. Rumahku di belakang pasar ini. Bahkan tanpa Ki Bekel dan Ki Demang, kami berdua akan pergi ke Ngadireja untuk menghadap Ki Panji. Persoalan tentang pajak atas bangunan yang dibuat oleh Pangeran Jayaraga ini memang memerlukan penjelasan.”

Wajah Ki Lurah menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Kau kira kau ini siapa, he? Apa hakmu menghadap Ki Panji di Ngadireja?”

“Setiap orang dapat menghadap Ki Panji. Kami adalah rakyatnya. Karena itu kami berhak menyampaikan gejolak perasaan kami kepada Ki Panji, karena Ki Panji adalah pemimpin kami. Orang tua kami, yang wajib mengasuh, melindungi dan merawat kami.”

Api di Bukit Menoreh seri KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang