Api di Bukit Menoreh
Buku 352 (Seri IV Jilid 52)
admin
11 tahun yang lalu
Iklan
Sementara itu, ketika Sungsang masih saja meronta-ronta, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun berkata, “Jika kau tidak dapat tenang, maka aku akan membiarkan kau menjadi tontonan. Aku akan meninggalkan pedati dengan kau terikat di dalamnya, di tengah-tengah jalan, dengan dijaga oleh dua orang prajurit. Aku akan memerintahkan prajurit itu mengedarkan tampah untuk memungut uang bagi mereka yang nonton pertunjukan yang sangat menarik ini.”
Sungsang tidak dapat menjawab, karena mulutnya disumbat. Namun sikapnya menunjukkan kemarahannya yang amat sangat. Namun akhirnya Sungsang itu pun berhenti. Bukan saja karena kelelahan. Tetapi iapun tidak ingin menjadi tontonan di tengah jalan.
Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu telah memasuki regol halaman yang cukup besar dengan halaman yang luas. Rumah itu memang disediakan untuk keperluan-keperluan khusus. Ki Lurah pun memerintahkan para pemimpin kelompok untuk mengatur para prajurit yang harus bertugas, terutama mengawasi pedati yang memuat harta benda berharga yang diambil dari para perampok yang berkedok sebuah perguruan itu.
“Aku akan menghadap Kanjeng Panembahan di istana,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
Seperti yang diperintahkan oleh Kanjeng Panembahan Hanyakrawati, maka di wayah pasar temawon, Ki Lurah Agung Sedayu pun telah menghadap. Ternyata Ki Patih Mandaraka dan beberapa orang pemimpin Mataram telah menghadap pula.
“Aku ingin mendengar laporanmu, Ki Lurah,” berkata Kanjeng Panembahan.
“Ampun, Kanjeng Panembahan. Dengan perkenan Kanjeng Panembahan, hamba akan melaporkan perjalanan hamba, mengantar Kanjeng Pangeran Puger ke Demak.”
“Katakan.”
Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian telah melaporkan perjalanan yang telah ditempuh ketika ia mengawal Pangeran Puger menuju ke Demak. Semuanya telah di laporkannya. Tidak ada yang dikurangi dan tidak ada yang ditambah. Ki Lurah telah membawa harta benda berharga yang disembunyikan oleh gerombolan Srengga Sura, yang telah menyelimuti gerombolannya sebagai sebuah perguruan.
“Jadi kau dan pasukanmu harus bertempur pada saat kau berangkat dan pada saat kau kembali?”
“Hamba, Panembahan.”
“Di kedua pertempuran itu, ada prajuritmu yang gugur?”
“Ya, Panembahan.”
Panembahan Hanyakrawati mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian Kanjeng Panembahan itupun bertanya, “Lalu apa maksudmu dengan membawa harta benda yang berbau darah itu kemari?”
“Ampun, Panembahan. Menurut dugaan hamba, harta benda itu adalah harta benda milik rakyat Demak, sehingga sepantasnya bahwa harta benda itu dikembalikan ke Demak.”
“Adakah dapat dicari, siapakah pemilik benda-benda berharga itu?”
“Tidak, Panembahan. Tetapi harta benda itu sebaiknya kembali ke Demak. Mungkin akan dapat dipergunakan untuk membiayai kerja yang akan sangat berarti bagi Demak. Mungkin untuk membangun bangunan-bangunan yang sangat dibutuhkan oleh rakyatnya. Dengan demikian, maka harta benda itu telah kembali ke kandangnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Api di Bukit Menoreh seri Ketiga
Ficción históricasambungan dari seri pertama dan seri kedua dimulai sari bagian 286 dan seterusnya sampai kuota tulisan habis