Api di Bukit Menoreh
Buku 371 (Seri IV Jilid 71)
admin
11 tahun yang lalu
Iklan
Ternyata Rara Wulan pun telah menguasai ilmunya dengan matang. Ia hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengambil ancang-ancang. Ketika Raden Nirbaya siap melontarkan ilmunya untuk yang ketiga kalinya, maka Rara Wulan telah siap melakukannya pula.
Dengan demikian, maka dua kekuatan ilmu yang tinggi telah meluncur dari dua arah yang saling berseberangan.
Namun kekuatan dan kemampuan Raden Nirbaya tidak lagi sesegar Rara Wulan. Raden Nirbaya telah meluncurkan ilmunya untuk yang ketiga kalinya, sehingga tingkat kekuatan dan kemampuannya sudah mulai menyusut.
Dengan demikian, ketika terjadi benturan ilmu dari kedua orang yang sedang bertempur itu, tenaga dan kemampuannya sudah tidak seimbang lagi.
Rara Wulan memang tergetar beberapa langkah surut, tetapi tidak sampai kehilangan keseimbangannya. Rara Wulan masih tetap berdiri tegak, meskipun harus menyeringai menahan nyeri di dadanya.
Sementara itu, Raden Nirbaya pun telah terlempar beberapa langkah dan terpelanting jatuh. Terdengar Raden Nirbaya itu mengaduh. Namun kemudian ia pun terdiam untuk selamanya.
Rara Wulan masih melihat Raden Nirbaya menggeliat. Tetapi kemudian mata Rara Wulan pun menjadi berkunang-kunang.
Rara Wulan itu pun kemudian bergeser surut. Ketika dua orang prajurit mendekatinya, maka Rara Wulan pun memanggil mereka.
“Ki Sanak.”
Kedua orang prajurit itu pun meloncat dengan cepat sambil menangkap tubuh Rara Wulan yang terhuyung-huyung.
“Rara.”
Rara Wulan itu memejamkan matanya sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku tidak apa-apa.”
“Wajah Rara menjadi pucat sekali.”
Rara Wulan mencoba tersenyum. Ia pun kemudian telah mampu berdiri sendiri, meskipun terasa dadanya masih sesak.
Beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang berlari-lari mendekati tubuh Raden Nirbaya yang terkapar di tanah. Mereka pun segera mengusung tubuh itu ke belakang garis pertempuran.
“Raden Nirbaya pun telah dikalahkan oleh seorang perempuan muda,” desis seorang di antara mereka yang mengusung tubuh Raden Nirbaya sambil berlari-lari kebelakang medan.
“Ya. Seperti Ki Denda Bahu.”
“Yang mengalahkan Ki Denda Bahu adalah Nyi Lurah Agung Sedayu. Seorang yang seharusnya menjadi salah seorang pemimpin perguruan kita. Karena itu wajar sekali jika Ki Denda Bahu dikalahkannya Tetapi Raden Nirbaya, yang diharapkan mendampingi Ki Saba Lintang, telah terbunuh oleh seorang perempuan yang masih muda.”
“Ki Saba Lintang tentu akan marah sekali.”
“Seharusnya Raden Nirbaya tidak turun ke medan.”
“Tetapi ia merasa berilmu tinggi.”
“Ia memang berilmu sangat tinggi. Tetapi perempuan itu ilmunya lebih tinggi lagi. Senjatanya sehelai selendang yang mampu mengibaskan paser-paser kecil Raden Nirbaya. Jarang sekali ada orang yang mampu menghindar dari serangan paser-paser kecil itu. Bahkan kemudian aji pamungkasnya pun tidak mampu menghentikan perlawanan perempuan itu. Bahkan justru Raden Nirbaya sendiri-lah yang terbunuh.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Api di Bukit Menoreh seri Ketiga
Narrativa Storicasambungan dari seri pertama dan seri kedua dimulai sari bagian 286 dan seterusnya sampai kuota tulisan habis