Api di Bukit Menoreh
Buku 380 (Seri IV Jilid 80)
admin
11 tahun yang lalu
Iklan
Satu-satu lawan Glagah Putih itu pun telah terluka. Ikat pinggang Glagah Putih itu selain dapat membentur senjata lawan seperti lempengan baja, ujungnya juga mampu menggores kulit lawan seperti ujung pedang yang sangat tajam. Karena itu maka Ki Jayengwira dan ketiga orang kawannya itu semakin lama menjadi semakin terdesak.
Demikian pula lawan-lawan Rara Wulan. Selendang Rara Wulan yang berputar itu tiba-tiba telah terjulur mematuk dada. Rasa-rasanya dada lawannya yang tersentuh ujung selendang Rara Wulan itu bagaikan tertimpa sebongkah batu padas.
Semakin lama keseimbangan pertempuran itu pun menjadi semakin berat sebelah. Ki Jayengwira dan kawan-kawannya tidak dapat lagi menghindari kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu mengatasi kedua orang yang mengaku petugas sandi dari Mataram itu.
Raden Suwasa menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Namun ternyata bahwa Raden Suwasa bukanlah seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Dengan tegang ia menyaksikan bahwa Rara Wulan benar-benar mampu memperlihatkan bahwa dirinya adalah murid dari Perguruan Kedung Jati. Bahkan ilmunya adalah ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati pada tataran yang sangat tinggi. Bahkan laki-laki muda yang berjalan bersamanya itu juga mampu menunjukkan bahwa ia juga menguasai ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati.
Karena itu maka Raden Suwasa itu pun menjadi semakin lama semakin berdebar-debar. Ia merasa tidak akan dapat mengimbangi tataran ilmu kedua orang itu. Bahkan ia pun menjadi cemas bahwa perempuan itu-lah yang kemudian justru akan menangkapnya, karena ia dianggap telah mencemarkan nama baik Perguruan Kedung Jati yang sejati.
Karena itu Raden Suwasa itu pun tidak mempunyai pilihan lain. Dengan diam-diam selagi Ki Jayengwira dan kawan-kawannya masih bertempur melawan kedua orang laki-laki dan perempuan yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati yang sejati itu, maka Raden Suwasa pun telah meninggalkan arena.
Namun ketika beberapa saat kemudian terdengar derap kaki kuda yang berlari dari belakang segerumbul rumpun pohon perdu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera menyadari bahwa Raden Suwasa telah meninggalkan arena.
Glagah Putih-lah yang lebih dahulu meloncat meninggalkan lawan-lawannya. Sekejap kemudian ia melihat Raden Suwasa di punggung kudanya dengan kecepatan tinggi telah turun ke lorong sempit itu.
Tetapi Glagah Putih tidak mau melepaskannya. Sebelum Raden Suwasa sempat lari meninggalkan arena, maka Glagah Putih yang ilmunya sudah benar-benar mapan itu telah melepaskan ilmu puncaknya. Glagah Putih tidak membidik Raden Suwasa. Ia juga tidak membidik kudanya. Tetapi Glagah Putih telah membidik dahan sebatang pohon yang cukup besar, yang tumbuh di pinggir jalan itu.
Dalam waktu sekejap maka seleret sinar telah meluncur mengenai dahan pohon yang cukup besar itu, sehingga dahan itu pun gemeretak patah. Dahan itu pun telah jatuh melintang di jalan yang kecil itu. Demikian tiba-tiba, sehingga Raden Suwasa tidak mampu menguasai kudanya.
Glagah Putih sendiri tidak menghendaki bahwa kuda Raden Suwasa yang tidak terkendali itu kakinya menerpa dahan kayu yang patah dan melintang di jalan itu. Sementara kuda itu pun berlari dengan kencangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Api di Bukit Menoreh seri Ketiga
Historical Fictionsambungan dari seri pertama dan seri kedua dimulai sari bagian 286 dan seterusnya sampai kuota tulisan habis