Api di Bukit Menoreh
Buku 361 (Seri IV Jilid 61)
admin
11 tahun yang lalu
Iklan
Ad
“Tetapi kita sudah berada di sini. Mereka tentu akan mencurigai kita,” bisik Glagah Putih.
Orang yang memikul beberapa bumbung legen itu berdiri termangu-mangu. Sementara Glagah Putih pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Kami adalah dua orang suami istri yang sedang mengembara. Jika hari ini kami sampai di padukuhan Ki Sanak, maka kami berniat memperkenalkan diri kami. Tolong, Ki Sanak. Tunjukkan kepada kami, dimanakah rumah Ki Bekel di padukuhan itu?”
Orang itu menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Kami tidak tinggal di sebuah padukuhan. Tetapi kami tinggal di satu tempat yang pernah menjadi sebuah padepokan.”
“Pernah menjadi sebuah padepokan?”
“Ya. Di gumuk itu pernah ada sebuah padepokan. Lingkungan padepokan itu adalah sebesar gumuk kecil itu. Tetapi pada suatu saat padepokan kami pernah mengalami bencana, sehingga hampir saja menjadi punah. Kini masih ada beberapa orang yang tinggal di gumuk itu. Tetapi tidak lagi dalam susunan sebuah padepokan. Namun juga bukan sebuah padukuhan. Kami tinggal di gumuk itu tanpa terikat oleh paugeran dan tatanan sebagaimana sebuah padukuhan yang menjadi bagian dari sebuah kademangan.”
“Tetapi agaknya masih ada seorang pemimpin padepokan?”
“Bukan lagi pemimpin padepokan. Kami memang menunjuk seorang di antara kami menjadi pemimpin kami.”
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah aku diperkenankan menemui pemimpin Ki Sanak itu?”
“Marilah. Aku antar kau menemuinya.”
Orang yang memikul legen itu pun kemudian berjalan mendahului Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara kedua orang suami istri itu mengikutinya di belakang.
Beberapa saat kemudian, mereka pun mulai memanjat naik. Jalannya yang dilapisi tanah liat itu tentu licin di musim hujan.
Namun ketika mereka sampai di depan sebuah rumah yang pertama kali mereka temui, mereka melihat bahwa di halaman rumah itu terdapat banyak gerabah yang baru saja dibuat dan masih belum dibakar.
Glagah Putih dan Rara Wulan memperhatikan gerabah yang sudah siap untuk dibakar itu dengan sungguh-sungguh. Bahkan Rara Wulan itu pun bergumam, “Gerabah. Ada jambangan, periuk, kendi dan bermacam-macam alat dapur.”
“Hampir semua orang yang tinggal di bukit ini membuat gerabah,” berkata orang yang memikul legen itu. “Gerabah dan gula kelapa.”
“Itukah penghasilan utama di padukuhan ini?”
“Di padepokan ini. Orang banyak masih menyebut tempat ini sebagai sebuah padepokan, meskipun mereka tahu bahwa tatanannya sudah berubah.”
“Ya, di padepokan ini,” Glagah Putih mengangguk-angguk.
“Itulah penghasilan utama kami. Ada beberapa bahu sawah di sebelah sungai kecil itu. Kami pun beternak kambing dan ayam. Anak-anak menggembala di pagi sampai siang hari.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Api di Bukit Menoreh seri Ketiga
Historical Fictionsambungan dari seri pertama dan seri kedua dimulai sari bagian 286 dan seterusnya sampai kuota tulisan habis