Api di Bukit Menoreh
Buku 387 (Seri IV Jilid 87)
admin
11 tahun yang lalu
Iklan
Ternyata keinginan orang yang menemui Rara Wulan dan menyatakan keinginannya untuk dapat berhadapan dalam pendadaran itu memang terjadi. Ketika para peserta itu kemudian memasuki arena pertarungan, maka orang itu pun sambil tersenyum-senyum berkata, “Kita benar-benar dapat bertemu di arena pendadaran ini, Nduk.”
Rara Wulan mengerutkan dahinya. Katanya, “Aku sudah bersuami. Sebutan yang kau ucapkan itu hanyalah bagi anak-anak gadis remaja. Bahkan yang meningkat dewasa pun mempunyai sebutan yang berbeda.”
Orang itu tertawa. Katanya, “Aku tahu bahwa kau sudah bersuami. Aku pun tahu siapa suamimu. Bukankah suamimu laki-laki yang duduk bersamamu di tangga serambi itu?”
“Ya. Kenapa kau tidak ingin bertemu dengan suamiku saja?”
“Buat apa aku bertemu dengan suamimu? Jika aku bertemu dengan suamimu, maka suamimu tidak akan mendapat kesempatan untuk meneruskan pendadaran ini, karena aku akan membuatnya tidak berdaya sama sekali. Ia akan menjadi seperti seorang yang dungu dan tidak berilmu sama sekali.”
“Tetapi pada pendadaran hari pertama, para perwira di Mataram yang menyelenggarakan pendadaran ini sudah melihat bahwa suamiku mempunyai kemampuan yang tinggi.”
“Tetapi pendadaran hari ini pun akan ikut menentukan. Tetapi beruntunglah bahwa suamimu tidak bertemu dengan aku dalam pendadaran ini.”
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi jantungnya terasa bagaikan bergejolak. Orang ini jauh berbeda dengan orang yang kemarin dihadapinya dalam pendadaran itu.
Sementara itu, sejenak kemudian telah terdengar isyarat bahwa pendadaran itu pun segera akan dimulai. Para perwira yang bertugas pun telah berdiri di tempat mereka masing-masing, mengawasi setiap pasangan yang akan bertarung dalam pendadaran itu. Ki Tumenggung Purbasena masih memperingatkan, bahwa yang sedang berlangsung adalah satu pendadaran untuk menunjukkan kemampuan para peserta serta kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkan kemampuan mereka. Bukan arena untuk membalas dendam.
Ketika pertanda bahwa pendadaran itu dapat dimulai, maka setiap pasangan dari pertarungan dalam pendadaran itu pun mulai bergeser. Di antara mereka pun mulai terjadi pertarungan. Serangan demi serangan. Tetapi mereka sadar, bahwa yang dinilai bukanlah menang atau kalah, tetapi landasan ilmu mereka. Karena itu maka mereka pun telah berusaha untuk menumpahkan segala kemampuan mereka. Keanekaragaman unsur-unsur gerak, serta kecepatan gerak mereka.
Sementara itu, lawan Rara Wulan itu pun mulai bergeser pula. Sambil tersenyum ia pun berkata kepada Rara Wulan, “Mulailah, Nduk. Seranglah aku dengan segenap kemampuanmu.”
Rara Wulan masih berdiri tegak. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Sementara orang itu masih tersenyum-senyum sambil berkata, “Ayo, jangan ragu-ragu. Tumpahkan segala kemampuanmu agar kau mendapat nilai yang baik dalam pendadaran ini. Dengan demikian maka besok kau masih akan mendapat kesempatan untuk bertarung melawan seorang Senapati Mataram.”
Rara Wulan masih saja berdiri tegak. Ia masih belum berbuat apa-apa. Dalam pada itu, perwira yang mengawasinya sempat memperingatkan keduanya, “Kenapa kalian tidak mulai? Kawan-kawan kalian sudah bertarung. Jangan banyak membuang waktu, mumpung hari masih pagi. Mumpung matahari belum terasa panasnya. Jika panas matahari menjadi terik, maka kalian akan cepat menjadi lelah. Aku pun malas untuk berjemur di sini sampai lewat tengah hari.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Api di Bukit Menoreh seri Ketiga
Historical Fictionsambungan dari seri pertama dan seri kedua dimulai sari bagian 286 dan seterusnya sampai kuota tulisan habis