Api di Bukit Menoreh
Buku 335 (Seri IV Jilid 35)
admin
11 tahun yang lalu
Iklan
Ad
Rumah itu memang bukan rumah yang besar. Tetapi nampaknya terawat. Halamannya pun nampak bersih. Sinar bulan yang terang membuat bayang-bayang dedaunan dari pepohonan yang tumbuh di halaman depan rumah itu.
Sejenak kemudian pintu pun terbuka. Seorang laki-laki yang sudah separuh baya melangkah keluar. Namun sebelum orang itu duduk, perempuan yang ditemui di jalan itu pun keluar pula sambil berkata, “Kang, silahkan saja mereka duduk di dalam.”
Laki-laki itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun berkata, “Marilah, Ngger. Silahkan masuk ke ruang dalam.”
“Biarlah kami duduk di sini saja, Paman. Agaknya udara terasa sejuk. Cahaya bulan di halaman itu sangat menarik perhatian kami, Paman. Sayang, tidak ada anak-anak yang bermain.”
Laki-laki itu tersenyum. Katanya, “Tetapi sebaiknya Angger berdua masuk ke ruang dalam.”
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat membantah lagi. Karena itu, maka keduanya pun bangkit berdiri dan mengikuti laki-laki separuh baya itu masuk ke ruang dalam.
Agaknya pemilik rumah itu memang rajin. Perabot rumah yang tidak terlalu banyak itu nampak bersih. Lampu minyak yang terletak di ajug-ajugnya di sudut ruang, bersinar dengan terang, menerangi ruangan yang agak luas itu. Sebuah amben bambu yang agak besar terletak di sisi kanan, di sisi lain terdapat geledeg bambu.
“Marilah, Ngger. Silahkan duduk.”
Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian duduk di atas amben bambu itu, ditemui oleh laki-laki separuh baya yang mempersilahkan mereka masuk.
Namun sejenak kemudian, perempuan yang mengajak mereka singgah itu pun telah ikut duduk pula bersama mereka.
“Aku temui mereka di jalan, Kang. Mereka akan pergi ke banjar untuk menginap. Agaknya mereka tidak tahu, apa yang sedang terjadi di sini.”
Laki-laki itu mengangguk-angguk.
Sementara itu, perempuan itu pun berkata, “Sebaiknya kalian tidak pergi ke banjar. Jika kalian ingin bermalam di padukuhan ini, bermalam sajalah di sini.”
“Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Bibi?”
“Demang kami adalah seorang Demang yang baru. Menurut kata orang, Ki Demang yang baru itu adalah seorang pemakan daging manusia. Terutama gadis-gadis remaja.”
“He?” wajah Glagah Putih dan Rara Wulan menegang.
“Apakah itu benar?” bertanya Rara Wulan.
“Aku percaya, Ngger” jawab perempuan itu, “karena itu, ketika matahari terbenam dan anak gadisku belum pulang, aku telah mencarinya sampai ketemu. Anak itu memang nakal. Ia merasa lebih senang tinggal di rumah neneknya daripada di rumah sendiri. Neneknya memanjakannya. Sedangkan di sini, ia mempunyai tiga orang saudara, sehingga ia tidak dapat bermanja-manja seperti di rumah neneknya.”
“Apakah itu bukan sekedar berita yang dibuat-buat dari orang yang tidak senang kepadanya? Mungkin saingannya, atau orang-orang yang tidak sependapat bahwa orang itu menjabat sebagai Demang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Api di Bukit Menoreh seri Ketiga
Historical Fictionsambungan dari seri pertama dan seri kedua dimulai sari bagian 286 dan seterusnya sampai kuota tulisan habis