341

284 14 0
                                    

Api di Bukit Menoreh

Buku 341 (Seri IV Jilid 41)

 admin

11 tahun yang lalu

Iklan

Ki Citra Jati beringsut setapak. Dipandanginya kedua orang yang datang bersama Pandunungan itu. Meskipun agak ragu, iapun bertanya, “Siapakah namamu, Ngger?”

Kawan Pandunungan yang disebutnya murid Wirapratama itu pun dengan congkak justru bertanya, “Kau bertanya kepadaku?”

Ki Citra Jati mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun menjawab, “Ya, Ngger. Aku bertanya kepadamu, dan kepada angger satu lagi, murid Mandira Wilis.”

Murid Wirapratama itu pun menjawab, “Namaku Walesan. Aku murid utama Ki Wirapratama.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Sementara itu murid Mandira Wilis itu pun berkata, “Namaku Prasapa. Jika kau sudah mengenali guruku, maka kau pun akan mengenali aku. Bukan sekedar ujud kewadagan ini.”

“Ya, ya. Aku mengerti,” sahut Ki Citra Jati. “Dimana gurumu sekarang?”

“Kau akan datang menemuinya untuk menghidar dari kemarahannya?”

“Apa gurumu sedang marah?”

Prasapa itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Ya. Guruku, Paman Wirapratama dan Paman Sura Alap-Alap memang sedang marah.”

“Kenapa mereka marah?” desak Ki Citra Jati.

Prasapa menajadi gagap. Ia tidak mengira bahwa pertanyaan Ki Citra Jati menjadi berkepanjangan. Namun yang kemudian menjawab adalah Pandunungan, “Mereka marah karena sikap MIaya Werdi yang tidak tahu diri. Meskipun ia murid Paman Brajanata yang tertua, tetapi aku adalah kemenakan Paman Brajanata. Aku-lah yang berhak untuk menjadi pemimpin di padepokan ini. Bukan Mlaya Werdi. Bagi Paman Brajanata, Mlaya Werdi adalah orang lain. Tetapi aku bukan orang lain. Aku mempunyai pertautan darah. Tanah yang dipergunakan untuk mendirikan padepokan ini adalah tanah kakekku. Jadi aku adalah pemilik yang sah hak atas tanah ini. ”

“Pandunungan,” berkata Ki Citra Jati, “aku termasuk orang tua di padepokan ini. Aku tahu bahwa tanah ini dahulu adalah tanah milik kakek buyutmu. Tetapi tanah itu sudah diberikan kepada kami, kepada perguruan kami, untuk mendirikan sebuah padepokan. Bahkan disaksikan oleh beberapa orang, termasuk Ki Demang yang membawahi tanah ini. Tentu saja Ki Demang itu sekarang sudah tidak ada, tapi ia akan mengakui pula, bahwa tanah ini adalah tanah milik perguruan kita. Perguruanku dan perguruanmu.”

“Paman tidak dapat mendasarkan hak milik atas tanah ini kepada dongeng itu. Sekarang kita akan berdiri di atas kenyataan. Tanah ini milikku. Sedangkan alur kepemimpinannya pun seharusnya padaku.”

“Tetapi Kakang Brajanata telah menunjuk Mlaya Werdi untuk mewarisi kedudukannya. Pesan itu harus dijunjung tinggi.”

“Tentu ada yang mempengaruhi Guru pada waktu itu, sehingga akhirnya ia memberikan wewenang kepada Mlaya Werdi untuk menjadi pimpinan pada perguruan ini. Sekarang, sudah waktunya untuk meluruskan penyelewengan itu.”

“Pandunungan,” berkata Ki Citra Jati, “kita semua adalah saudara. Kita ditempa dan dimatangkan oleh perguruan ini. Jika terjadi perselihan, tentu akan meretakkan keutuhan keluarga besar kita.”

Api di Bukit Menoreh seri KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang