🍁 (41) 🍁

52 13 7
                                    

"Manusia itu aneh yah? Di bibir bisa berkata benci. Namun, tindakan dan sikap mengartikan peduli."

'RALEA'

•••

"Ray, lo bertahan. Lo pasti kuat," ucap Alea dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan dan perasaan yang campur aduk.

Kini Rayhan terbaring di kursi jok taksi, dengan paha Alea sebagai bantalan kepala Rayhan. Alea menepuk-nepuk pipi Rayhan pelan. "Ray, lo bangun dong."

"Rayhan," lirih Alea.

"Pak, cepetan Pak. Temen saya butuh pertolongan pertama," ucap Alea pada sopir taksi yang mengantarnya.

"Baik-baik, Non." Sopir itu mengangguk mengiyakan.

Alea membawa Rayhan ke rumah sakit menggunakan taksi. Sedangkan, teman-temannya mengikuti mereka dari belakang menggunakan motor.

**

"Halo Bang," ujar Alea sembari menempelkan benda pipih yang ia ambil dari saku tas pada telinganya.

" ...."

"Emm ... ini aku ... lagi ada tugas kelompok Bang. Iya tugas kelompok," ucap Alea berbohong pada Kakaknya.

" ...."

"I-iya Bang, nanti aku pulang."

Tuuttt! Tuuttt!

"Siapa, Al?" tanya Arland pada Alea yang batu saja memasukkan kembali ponselnya.

"Oh, ini bang Kevin."

"Oh, iya. Al, gimana ceritanya lo bisa sampe diiket kayak tadi?" tanya Arland sembari membawa Alea duduk di kursi ruang tunggu.

"Jadi gini, Land. Tadi waktu pulang sekolah kan gue pulangnya paling belakangan. Nah, waktu gue nunggu di halte, tiba-tiba ada yang narik gue terus ngebekap mulut gue pake saputangan, terus gue gak sadar. Pada saat gue sadar, gue udah diiket dibawah pohon deket kuburan deh." jelas Alea menceritakan yang sebenarnya pada Arland dan teman-temannya.

"Terus, lo kenal gak siapa yang lakuin itu sama lo?" tanya Arland kembali.

Alea menggelengkan kepalanya pelan. "Gue gak tau. Mereka bertiga dan kayaknya masih ada lagi deh, udah gitu pake topeng. Terus yah suaranya juga gak jelas, kayaknya mereka pake alat buat samarin suara mereka."

"Lo gapapa?"

"Gue aman kok. Tapi ...." Alea menggantung ucapannya sembari melirik ke ruangan IGD yang di dalamnya ada Rayhan yang sedang diperiksa.

"Lo tenang aja, Rayhan orangnya kuat. Dia pasti gapapa," ujar Arland yang sudah tahu isi hati Alea yang sebenarnya.

"Masalahnya dia dipukul pake tongkat baseball besi gara-gara ngelindungin tubuh gue biar gak kena pukulan benda itu," lirih Alea.

Arland memegang pundak Alea, "Al, dengerin gue. Sebenernya perasaan lo ke Rayhan itu gimana sih?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Arland.

Alea hanya diam, ia tak mengubris pertanyaan Arland.

"Al, sebelumnya bukan gue ngebela Rayhan atau gimana. Tapi, dia itu gak bersalah atas kejadian itu Al. Dia cuman-"

"CUMAN APA LAND?" potong Alea dengan nada tinggi.

"Lo gak tau perasaan gue waktu itu. Gue hancur Land, hancur!" lanjutnya.

"Gue ngerti, Al. Tapi lo gak bisa nyalahin Rayhan seenaknya. Lo gak tau gimana penderitaan Rayhan setelah kejadian itu, dia menderita Al." Arland mencoba menjelaskan pada Alea agar ia mengerti.

"Menderita? Bukannya yang menderita di sini gue? Gue udah kehilangan orang gue sayang, Land!" celetuknya.

Arland sudah kualahan menghadapi sikap egois dan keras kepala Alea. Tapi, ia akan mencoba terus demi sahabatnya.

"Bukan cuman lo, tapi Rayhan, orangtuanya dan kita juga menderita Al, apalagi atas sikap lo sekarang yang seenaknya nyalahin orang lain. Asal lo tau, semenjak kepergian Rafka, Rayhan gak dapet kasih sayang dan kepedulian lagi dari orangtuanya. Dia hidup sendirian, mungkin lebih tepatnya hanya ditemani pembantu dan sahabat-sahabatnya. Dia selalu misahin diri dari yang lain, akhir-akhir ini sering ngelamun, tiap pergi sekolah pakaiannya gak beraturan, mukanya kusam, kelopak matanya hitam, jarang makan. Apa lo masih mau ngaku kalo lo yang menderita?" geram Arland yang mulai terbawa emosi. Sedangkan Alea hanya diam dan memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Terus, hubungannya sama gue apa?" Alea membentak.

"Karena lo egois, keras kepala, ngerasa paling bener. Dan kita menderita kalo ngeliat Rayhan dengan keadaannya yang sekarang, gak kaya dulu sebelum ngenal lo dan cinta!" sentak Arland.

"Land, cukup Land. Lo jangan sampe kelepasan," ujar Bima memeperingati Arland agar ia tidak bertindak diluar batas.

"Udahlah, emang gak ada yang ngertiin gue kan. Lo pada cuman belain dia karena dia sahabat kalian kan?" Setelah itu Alea melengos pergi.

"Sebaiknya lo sadar sebelum lo nyesel nantinya!" celetuk Arland tiba-tiba, hingga membuat Alea menghentikkan langkahnya sejenak.

Alea menoleh ke belakang, "Gak akan." Setelah itu kembali melanjutkan langkahnya.

"Astaga, gue harus gimana lagi buat ngasih tau dia. Keras kepala banget sih tuh cewek," geram Arland.

"Sabar bro, sabar. Kita harus lakuin ini pelan-pelan," ujar Bima yang dingguki Dion.

Ceklek!

Seorang perawat keluar dari dalam ruangan.

"Permisi, dengan kerabat pasien yang bernama Rayhan Arkana?" tanya sang perawat pada Arland dan kawan-kawan.

Arland bangkit dan menghampiri perawat tersebut, lalu disusul Bima dan Dion.

"Saya sodaranya, Suster. Gimana keadaanya?" tanya Arland yang mengakui jika Rayhan saudaranya. Karena ia mengenal Rayhan sudah sangat lama, mungkin dari mereka kecil. Baik Arland maupun Rayhan sudah saling mengakui jika mereka sudah menganggap jika mereka bersaudara bukan sekedar teman ataupun sahabat.

"Saudara anda sudah siuman. Dan Dokter menyuruh anda untuk langsung masuk saja," ujar sang perawat sembari mempersilahkan. Arland langsung bergegas masuk.

"Emm ... Sus. Kami boleh ikut masuk gak?" tanya Bima pada perawat yang hendak masuk kembali ke ruangan.

"Maaf kalian siapa?"

"Kami makhluk Tuhan yang paling tampan dan gemoy," ungkap Bima sembari memperlihatkan deretan giginya.

Perawat itu menyipitkan matanya ke arah mereka. "Makhluk gaib tidak diperbolehkan masuk." celetuk sang suster membuat Bima dan Dion membelalakkan matanya.

"Astaghfirulloh, Suster becandanya gak islami." Mereka mengedip-ngedipkan matanya tak percaya.

RALEA (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang