•END•

107 5 0
                                    

Kini jasad Rayhan sudah dibawa ke rumahnya dan sebagian pelayat pun tengah melantunkan ayat-ayat suci Al-qur'an di hadapan jasad Rayhan.

Alea terduduk lemah di samping jasad Rayhan dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Alea tidak suka suasana senyap yang begitu terasa di tengah-rengah para pelayat yang masih berdatangan.

Di sana Alea beserta keluarganya, tak lupa para sahabatnya yang mendampingi jasad Rayhan. Sedangkan orang tuanya masih belum terlihat. Dan Bi Marni, pembantunya Rayhan masih belum sadarkan diri setelah melihat tubuh Rayhan yang sudah tak bernyawa lagi.

"Land, orang tuanya Rayhan masih di mana?" tanya Bima pada Arland.

"Katanya masih dijalan. Dan gue gak ngasih tau kalo Rayhan udah meninggal, takutnya ada apa-apa di jalan."

"Kalo gitu gue urus yang lain dulu yah."

Ditengah-tengah suasana duka itu tiba-tiba datang dua orang yang sangat berarti bagi Rayhan. Yah, itu orang tuanya.

Jangan ditanya lagi, mereka kaget bukan main saat melihat bendera kuning di rumahnya serta dipenuhi orang-orang yang melayat. Dan seseorang yang terlentang dan ditutup kain itu yang membuat jantung mereka berdegup kencang.

"A-ada apa ini?"

Arland menghampiri orang tua Rayhan. "Om, Tante."

"Arland, ini ada apa? Siapa yang meninggal?" tanya Rangga—ayah dari Rayhan.

"Arland jawab! Siapa yang meninggal?! Jangan bilang kalo ...."

"Rayhan," potong Arland.

"Ka-kamu jangan asal bicara! Dia gak mungkin, g-gak mung-kin—"

"RAYHAANNN!!" teriak Dahlia sembari berlari ke arah jasad Rayhan, lalu disusul Rangga.

Dahlia berlutut di hadapan jasad Rayhan. Tangannya bergerak seraya membuka kain yang menutup wajah dari jasad tersebut.

"Gak! Gak mungkin! Gak mungkin Rayhan meninggal!!" jerit Dahlia dibarengi tangisan yang sangat menyesakkan setelah melihat jelas wajah anaknya yang sudah pucat pasi.

"Rayhaann! Bangun Nak, bangun! Ini Bunda sayang." Dahlia menggunjing tubuh Rayhan yang sudah tak bernyawa.

"Rayhan, ini Ayah Nak. Bangun! Jangan tinggalin kami." Rangga pun ikut terisak di hadapan jasad Rayhan.

"Rayhan maafin Bunda sayang! Maafin Bunda! Bunda janji gak bakal pergi lagi, tapi kamu bangun! Bunda mohon bangun!!"

"Ra-Rayhan Ba-ngun—"

BRUKK!!

Tubuh Dahlia ambruk seketika saat dadanya mulai terasa sesak.

"Bunda, bunda kenapa?!" Rangga langsung menggendong istrinya ke kamar. Ia tahu istrinya syok akibat kabar duka ini.

**

Wangi petrichor pekat menguar memenuhi setiap sudut pekuburan begitu hujan jatuh menghantam tanah. Hawa dingin nan menusuk berhasil dirasakan setiap orang yang datang. Mereka semua terdiam haru melihat jasad Rayhan mulai dimasukan ke liang lahat. Tak lupa suara adzan yang di kumandangkan di dekat jasad tersebut.

Tangis orang-orang terdekat Rayhan kembali pecah saat jasad Rayhan mulai ditutupi tanah merah dari atas. Alea, gadis yang selama ini bersikap kurang baik terhadap Rayhan mulai meraung menahan pedih dengan air mata yang terus menetes.

Suasana pemakaman hari ini lebih dari kata kelabu. Hujan dan tangis menyedihkan menggelegar memenuhi langit gelap. Alea tidak bisa menahan isakannya. Wajah gadis itu sudah merah padam. Hingga proses pemakaman yang dingin mencekam itu telah selesai, tapi tetap ia tidak mau pulang.

Orang tua Rayhan sudah terlebih dulu pulang. Mereka tak kuasa melihat putra pertamanya kini terbaring tepat disamping putra keduanya.

"Alea, kamu mau pulang sekarang?" tanya Rani sembari mengusap lembut rambut putrinya.

Alea menggeleng lemah.

"Kalo gitu Mamah, Papah, sama Kak Kevin pulang duluan yah sayang." Orang tua Alea dan Kevin pun meninggalkan tempat pemakaman.

Alea berlutut di hadapan gundukan tanah merah itu. Ia menaburkan bunga di atasnya.

Alea mengambil napas dalam dan mengembuskannya pasrah. Tangan Alea mengusap batu nisan bertuliskan nama Rayhan itu.  "Kamu kenapa pergi secepat ini Rayhan? Aku belum minta maaf sama kamu. Sikap aku selama ini gak baik sama kamu. Mungkin beribu kata maaf belum bisa membalas semua kebaikan kamu. Dan sekarang aku harus sendirian lagi tanpa hadirnya kamu. Dulu Rafka ninggalin aku, sekarang kamu. Kenapa kebahagiaan gak pernah berpihak ke aku?!"

Setelah itu para sahabatnya ikut menaburkan bunga dia atas makam rekannya itu.

Bima tersenyum haru. "Lo orang baik Rayhan, lo pantes bahagia. Lo gak bahagia di dunia, tapi gue yakin lo bahagia di syurga."

"Terima kasih untuk semua kebaikan lo Rayhan, gue bangga bisa jadi sahabat lo." Dion mengembuskan napasnya pelan.

"Gue, dan ...."

"Gue," lanjut Kania

"Bersyukur bisa mengenal orang sebaik lo. Kita banyak belajar dari lo Rayhan, kita bangga jadi sahabat lo." Suara isakan itu masih terus mengiringi suasana dingin di pemakaman Rayhan.

"Tidak ada kata selain ucapan terima kasih untuk lo. Gue gak akan lupain semua tentang lo, gue akan terus mengenang lo, dan gue yakin sekarang lo gak bakal ngerasa kesakitan lagi."

'Selamat jalan'
Rayhan Arkana Wijaya

-End-


RALEA (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang