50. kata

3.3K 296 25
                                    

Tak terasa hari sudah mulai gelap, keduanya duduk di atas sofa yang di letakan di balkon apartemen Gara. Memangku sepiring steak dengan sayur dan kentang goreng yang tadi mereka masak bersama.

"Enak?" Alea menatap Gara saat lelaki itu nampak begitu lahap menyantap masakan nya.

"Banget si, ternyata bener lo pinter masak." Gara berucap, memakan kentang yang tadi ia goreng.

"Suasana nya juga enak, gue nyaman deh di sini. Pemandangan nya bagus banget soalnya." Alea tersenyum mata nya tak lepas pada cahaya lampu di bawah sana yang begitu terang.

"Apartemen papah gak setinggi ini si, bunda gak suka yang tinggi-tinggi soalnya." Ia kembali bercerita.

Karna apartemen yang di miliki Arta letak nya hanya di lantai ketiga, tidak sebagus milik Gara yang berada di lantai lima belas.

"Ghea juga takut ketinggian."

"Masa?" Alea nampak tak percaya, pasalanya sang kakak nampak selalu tenang apapun yang terjadi. Jadi tak terlalu terlihat rasa takut yang Ghea alami.

Gara mengangguk,"Dia pernah nangis waktu kita ke dufun gara-gara naik bianglala."

Lelaki itu tertawa kecil mengingat wajah menggemaskan Ghea saat itu.
"Padahal bianglala kan gak terlalu serem."

"Iya, sereman lo kalo lagi marah." Beo Alea asal, ia melirik kearah Gara yang malah menatap nya.

"Gara?"

Gara menaikan alis nya bingung, memperhatikan Alea yang nampak terlihat bimbang.

"Kenapa?" Tanya Gara.

"Lo kenapa tinggal sendiri? Maksud nya--"

"Gue ngerti," Gara memotong ucapan Alea. Lelaki itu menaruh piring yang ia pangku pada meja kaca di hadapan nya.

Menghelanafas pelan."Gue bingung, buat apa gue pulang kalo orang tua gue gak pernah ada."

"Mereka itu ambisius, dari semua yang ada di dunia. Mereka cuma mementingkan harta. Makanya gue gak percaya kalo orang bilang harta yang paling berharga adalah keluarga."

"Karna kekuarga gue cuma anggap gue sampah belaka."

Gara tersenyum masam,"Gue anak satu-satu nya. Yang seharusnya di jaga, tapi mereka malah buat gue seakan sia-sia dan gak berguna."

"Gara--"

"Gue benci sama mereka."

"Gara, lo gak boleh ngomong begitu."

Lelaki itu menatap Alea dalam,"Lo gak pernah ngerasai di posisi gue kan?"

"Gue emang gak pernah ngerasain ada di posisi lo, tapi gue pernah ngerasain ada di posisi orang tua lo!"

"Di benci sama orang yang kita sayang itu bener-bener menyakitkan."

"Le lo gak ngerti--"

"Apa yang gak gue ngerti?" Tanya Alea.

Ia menggenggap tangan dingin Gara, mengelus nya pelan."Gara, lo sering bilang kalo lo sayang sama gue kan?"

Gara sepontan mengangguk pelan, mata nya tak lepas dari wajah Alea yang berseri tersorot cahaya rembulan.
"Pulang, lo harus pulang."

"Le?"

"Bukan buat lo, bukan buat orang tua lo. Tapi buat gue ya? Cukup gue aja yang sakit, lo gak perlu."

Lelaki itu nempak terdiam, sampai Alea menyodorkan jemari kelingking nya di hadapan Gara."Janji ya?"

"Kasih gue waktu."

TURTLE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang