44. Sebuah Tawaran

355 56 2
                                    

Lagi-lagi gadis itu berada di sebuah lorong yang di penuhi jeruji besi. Ia sama sekali tidak tahu bagaimana bisa berada di sini. Hawa kegelapan yang amat pekat, rasa dingin yang membuat sekujur tubuhnya mengigil serta ketakutan yang mulai menyelimuti hatinya.

Pandangannya jatuh ke bawah. Lagi-lagi ia tak mengenakan alas kaki dan hanya dibaluti suatu gaun putih tipis. Bagaimana bisa dia berpakaian seperti ini?

Gadis itu mulai melangkahkan kakinya pada ubin yang dingin. Berusaha melawan semua ketakutan yang menyerang dirinya. Entah mengapa ada bagian dari sisi hatinya yang mendorongnya untuk bergerak, mencari tahu apa yang ada di sana.

Dan lagi-lagi, ia bisa melihat sosok lelaki bersurai pirang keemasan yang tampak menyedihkan. Sepasang iris biru permatanya tak lagi memancarkan aura kehidupan—yang ia tahu hanya ada kekosongan di sana. Pakaian lelaki itu terkoyak, dengan noda kemerahan yang menempel di sekitarnya.

Gadis itu lagi-lagi jatuh berlutut. Air mattanya kembali menetes deras. Kemudian bergerak putus asa, berusaha meraih lelaki itu dari balik jeruji besi. "Papa ... Papa ...!"

"Papamu sudah mati, Tuan Putri."

Suara yang amat dingin itu menggema dalam benak Athanasia, seolah mengoyahkan kewarasannya. Disusul dengan munculnya seseorang berjubah dengan sepasang manik merah. Athanasia menggeleng putus asa ketika pria berjubah itu menjambak keras-keras rambut lelaki bersurai pirang di hadapannya.

"Lihat, kamu tidak menemukan titik kehidupan di balik kedua mata itu lagi, bukan?" Pria itu menyentuh kulit lelaki di hadapannya dengan sebilah pisau tajam. "Apa kamu mau melihatnya lebih jelas?"

"Tidak ... jangan ... hentikan ... HENTIKAN—!"

CRASH!

Athanasia terbelalak lebar. Darah memuncrati wajahnya. Pria berjubah itu benar-benar menusuk dada lelaki pirang di hadapannya tanpa belas kasihan.

"Tidak ... Papa ..." Athanasia menggeleng pelan. Tubuhnya bergetar hebat. "Papa ... papa ..."

"Lihat? Dia-sudah-mati! AHAHAHAHA!"

"TIDAAAKKK! PAPAAA!"

.

.

.

DEG!

Athanasia lagi-lagi bangun dengan terbelalak lebar. Seketika itu juga nafasnya tersenggal-senggal bersamaan dengan peluh yang membanjiri keningnya. Sepasang manik permata birunya langsung menjelajah ruangan di hadapannya.

Tidak ada lorong dingin. Tidak ada jeruji besi. Tidak ada sosok pria jahat. Tidak ada sosok lelaki mengenaskan itu—papanya.

Semua normal. Semua normal. Itu hanya mimpi. Mimpi. Mimpi—Atau jangan-jangan kenyataan?

Arina menyeka peluh sebelum akhirnya beranjak bangun dari kasurnya. Kemudian menatap pantulan dirinya di cermin. Surai pirang keemasan yang kusut, kantung mata yang menghiasi wajahnya, dan setetes air mata yang telah mengering.

Ah, Athanasia benar-benar kacau.

"Sebenarnya mimpi apa itu ...?" gumam Athanasia seraya menyeka keningnya. Ia menyentuh dada, tepat pada jantungnya yang masih berdegup kencang. "Mimpi ... yang terasa begitu nyata. Terasa begitu menyakitkan."

Ini kedua kalinya. Tapi entah kenapa ia merasa kalau ini bukan kedua kalinya. Entah kenapa firasat Athanasia begitu buruk—sangat buruk. Ia tak ingin melihat wajah papanya seperti itu. Ia tak ingin papanya kesakitan. Ia tak ingin papanya menderita—lagi.

REINCERNATION [Who Made Me A Princess Fanfic] [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang