26. Rival

1K 121 38
                                    

"Apa yang sebenarnya terjadi denganku, sih?" gumam Athanasia ketika tengah melangkahkan kakinya ke lorong gedung utama. Ia melirik pemandangan luar dari balkon gedung. Lagi-lagi, ia sama sekali tidak bersemangat. 

Setelah kemarin mendengarkan ucapan Lucas yang tak masuk akal, ia justru hilang kesadaran dalam beberapa jam. Setelah bangun pun, Lucas sudah lenyap dari kamarnya. Hanya ada memo singkat serta makanan siap saji yang tergeletak rapi di atas meja kecil. 

Athanasia sama sekali tidak merasa senang. Justru rasa penasaran dan kebingungannya terus bertambah besar. Memo yang Lucas tinggalkan pun hanya sekadar bertuliskan 'maaf'. Begitu padat, singkat, dan jelas.  

"Kenapa dia enggak bisa memberitahuku langsung, sih?" gerutu Athanasia dengan kesal. Langkahnya semakin menghentak-hentak. "Sok main rahasia-rahasiaan segala. Dikira cenayang kali ya."

Hari masih terlampau pagi. Masih ada setengah jam sebelum bel masuk berbunyi. Jadi Athanasia tidak merasa segan untuk menunjukkan emosinya secara frontal. Bahkan sesekali menggertakkan gigi, geram dengannya sendiri maupun Lucas.  

"Mimpimu itu kuncinya."

Suara Lucas kembali terdengar di benaknya. Athanasia mengigit bibir bawahnya, kembali merenungkan ucapan Lucas. Memikirkan beberapa deretan mimpi yang terukir jelas di benaknya. Athanasia bukan orang yang suka mengingat mimpi dengan jelas, melainkan mimpi itu yang sering muncul kembali dalam tidurnya. 

Ada sebuah nama yang sangat sering muncul di mimpinya. Claude, orang yang tergambarkan memiliki surai keemasan berpadu dengan sepasang iris permata biru yang tajam. Perawakannya yang selalu mengenakan baju yang begitu aneh hingga menyingkap dada. Orang yang terlihat selalu bersama dengan Diana--sang kakak peri dalam mimpinya.  

Tapi setelah sekian lama mendapati mimpi yang berulang, Athanasia jadi merasa familiar dengan kehadiran Claude. Entah kenapa ada desiran hangat yang menyelimutinya ketika menatap orang itu dalam mimpinya. Begitu pula saat ia menatap Diana--meski ia tahu tatapannya tak akan bisa terbalaskan.  

Athanasia tidak mengerti. Apa hubungan orang-orang itu dengannya sekarang? Kenapa lama-lama ia jadi merasa familiar? Apa karena efek terlalu sering memimpikan mereka?

"Mimpi ... jangan-jangan ... semua itu nyata ...?" Athanasia terbelalak, memikirkan kemungkinan yang begitu konyol. "Hahaha, konyol. Mana mungkin, kan?"

Athanasia menggeleng-gelengkan kepala dan terkekeh sendiri. Kemudian ia kembali tersenyum kecut ketika tahu kalau kemungkinan itu tidak mungkin.

Bagaimana bisa itu semua terasa nyata? Apa dulu Athanasia itu orang lain yang hidup di kerajaan? Atau istilah reinkernasi itu memang sungguhan? Athanasia kembali menggeleng, menghapus kemungkinan yang terlalu khayal itu. 

Tanpa memedulikan beberapa murid yang jadi menatapnya aneh, Athanasia tetap asik dengan pikirannya sendiri. Ekspresinya pun berubah-ubah dari menit ke menit. Hingga tak sadar kalau seseorang tengah memperhatikannya dari tadi. 

"Wah, awal hari yang begitu menyenangkan ya, Athanasia?" sapa orang itu dari belakang. "Kamu ekspresif sekali hari ini."  

Athanasia menoleh dan tersenyum kaku. "Haha, mana mungkin? Justru aku merasakan sebaliknya, Kiel."

Ijekiel tersenyum kecil seperti biasa. Kemudian ia menyamakan langkahnya di sebelah Athanasia. Tas punggung masih dikenakan, begitu pula dengan dua buah buku yang berada di dekapan tangannya. Sepertinya anak itu juga baru saja datang.

"Kamu kenapa? Dari tadi mukamu berubah-ubah terus. Aku sampai takut mau menyapamu," ucap Ijekiel seraya terkekeh pelan. 

"Hah? Kamu melihatnya dari tadi?" tanya Athanasia kaget. 

REINCERNATION [Who Made Me A Princess Fanfic] [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang