Athanasia menatap jendela kamarnya dengan penuh rasa lega. Setelah orang-orang dari Serikat Sihir muncul menginvestigasi lebih lanjut, akademi pun diliburkan sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Mereka masih mencari sisa-sisa kejahatan Aethernitas yang mungkin saja tertinggal. Memang akan lebih baik jika diusut sampai tuntas.
Gadis itu pun menjatuhkan pandangannya, menatap telapak tangannya yang penuh goresan. Balutan perban di sekujur tubuhnya tidak bisa dibandingkan dengan apa yang telah mereka lakukan. Mempertaruhkan nyawa di era modern adalah sesuatu yang tak pernah Athanasia pikirkan sebelumnya. Apalagi itu ada kaitannya dengan sihir dan masa lalunya.
Benar-benar di luar dugaan. Rasanya ini semua seperti mimpi.
Terlebih setelah ia bisa memeluk papanya seperti tadi. Ia benar-benar bisa merasakan kehangatan dari tubuh itu, mendengarkan irama detak jantung dari dalam dadanya, dan sentuhan kasih sayang yang sama seperti di masa lampau.
"Ya Tuhan ... bagaimana bisa semua ini terjadi?" gumam Athanasia seraya menyeka wajahnya. "Semoga saja ... kebahagiaan ini akan tetap berlanjut seperti ini ...."
Tok! Tok! Tok!
Pintu kamar Athanasia terketuk perlahan. Setelah membiarkannya masuk, ternyata orang di balik pintu itu adalah Claude. Ekspresi Athanasia pun langsung berubah sumringah taktala sang ayah menghampiri anak gadis kesayangannya itu.
"Papa!" seru Athanasia seraya menepuk pinggir kasurnya, mempersilahkan sang ayah untuk duduk. "Apa tubuh Papa baik-baik saja? Apa sudah tidak ada yang terluka?"
"Ya. Berterima kasihlah pada penyihir putih itu. Dia kembali menyelamatkanku," ucap Claude seraya mengusap kepala sang anak. "Tapi aku ke sini bukan untuk dikhawatirkan seperti itu."
"Eh?" Athanasia mengerjap tidak paham.
"Aku ke sini untuk pamit."
"EH!? PAPA MAU PAMIT?" Athanasia terbelalak sempurna. Rahangnya nyaris copot saking kagetnya mendengar berita yang baru saja terlontarkan dari ayahnya itu. "Kenapa pamit? Ma-maksud Athy kenapa―"
"Waktu kita berbeda, Athanasia."
Hati Athanasia mencelos mendengarnya. Sepasang manik permata biru itu menatap tak percaya pada sang ayah yang baru saja ia jumpai.
Berbeda, katanya?
"Ma-maksud Papa?" tanya Athanasia dengan suara parau.
"Jamanku adalah jaman di masa kejayaan Obelia. Bukan abad ke 22 seperti ini," ucap Claude pelan. Ia menghela napas berat sebelum menatap Athanasia dengan sendu. "Kita berbeda waktu, Athanasia."
Ah, Athanasia lupa akan fakta itu.
"A-apa Papa ... tidak bisa tinggal di jaman ini saja?" tanya Athanasia seraya memaksakan senyumnya. "Pa-Papa bisa hidup di sini dengan aman―"
"Tidak bisa, Athanasia."
Suara yang terdengar dingin itu berhasil memutuskan harapan Athanasia. Sepasang manik permata biru itu kian menyendu seraya mengusapkan jemarinya pada puncak kepala sang anak.
"Jika aku tinggal di sini lebih lama, justru akan berbahaya bagi keseimbangan dunia parallel. Distorsi antar waktu bisa saja terjadi dan ... ancaman yang lebih mengerikan daripada Aethernitas juga kemungkinan besar bisa muncul di jaman ini."
Athanasia kembali terhenyak. "Apa ... tidak ada cara lain?"
Gadis itu mulai berkaca-kaca seraya menatap sang papa penuh harap. Jujur saja, Athanasia masih tidak rela untuk berpisah dari Claude. Setelah sekian lama berpisah, ia harus bertemu sesingkat ini? Yang benar saja! Bahkan sehari bersama pun tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
REINCERNATION [Who Made Me A Princess Fanfic] [✔️]
RomanceApa kalian percaya akan adanya kehidupan kembali? Demi menyelamatkan tuan putri dari putaran reinkernasi, Lucas rela menyelami ruang dan waktu, bahkan mengorbankan sihirnya hanya untuk menemukan gadis itu di abad ke-22. Kegagalan di masa silam tela...