"Kenapa mereka ingin membunuhku?"
Athanasia menatap Jenette lamat-lamat. Sepasang manik biru permata itu berkilat, terbayang akan berbagai peristiwa dalam benaknya. Ia menggigit bibir bawahnya, berpikir keras mengapa nyawanya selalu terancam tiap kali ia menginginkan kehidupan yang tenang.
"Apa salahku ...?"
Tidak hanya di dunia ini, pun di tiga jaman yang berbeda dulu nyawanya selalu terancam. Dibunuh dan terbunuh adalah dua hal yang sering ia dapatkan.
Athanasia memang tidak terlalu mengingat jelas bagaimana kehidupan pertama dan keduanya, tapi ia tetap teringat bagaimana rasanya untuk bertahan hidup dalam setiap kehidupannya. Begitu pahit dan menyedihkan.
Dan disaat dirinya sudah merasa mendapatkan kasih sayang yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya, ia justru mati karena kesalahannya sendiri.
Kenapa takdir seolah tidak pernah berpihak padanya?
"Jawab, Jenette. Kenapa harus aku targetnya? Kenapa bukan orang lain ...?" tanya Athanasia dengan kedua tangan yang mengepal erat. "Kenapa mereka menginginkan nyawaku? Aku ini ... sebenarnya salah apa?"
Namun, Jenette hanya menggelengkan kepala dan membuang muka. Ekspresinya terlihat bersalah, tapi ia pun juga tak tahu alasan yang sebenarnya kenapa mereka menginginkan Athanasia.
"Maafkan aku," gumam Jenette pelan.
"Untuk apa?" tanya Athanasia begitu pahit. "Maaf buat apa?"
"Karena semuanya. Aku minta maaf, termasuk percobaan pembunuhan waktu itu," jawab Jenette dengan lirih. "Kalau ditanya kenapa pun, aku tidak tahu kenapa bisa membencimu. Sepertinya aku memang telah terbodohi oleh Ayahku dan Ijekiel."
Athanasia menggeram. "Kalau gitu, berarti kamu tahu apa rencana mereka selanjutnya?"
"Enggak, aku enggak tahu sama sekali. Maaf." Jenette menggeleng dan menggigit bibir bawahnya. "Tapi tenang saja, aku akan berada di sini seharian. Jadi setidaknya, sihir gelapku tidak akan menyebar ke daerah lain."
Athanasia berdecak dan menyeka poninya dengan gusar. Tidak, ia sama sekali tidak merasa tenang. Ia pun yakin kalau cara kerja sihir gelap yang ada di tubuh Jenette tidak sesedehana itu. Pasti musuh telah merencanakan lebih jauh atau tengah menunggu untuk menghabiskan nyawanya ketika ia keluar dari ruang kesehatan ini.
"Emm, kamu enggak apa-apa, Athanasia? Wajahmu jadi ... agak pucat," ucap Jenette cemas. Ia hendak memegang kening Athanasia, tetapi gadis itu langsung mundur beberapa langkah.
"Enggak apa. Hanya tiba-tiba sakit kepala biasa," jawab Athanasia tanpa melihat Jenette. Jemarinya sibuk memijit keningnya yang kembali berdenyut, efek dari kegelisahan dan tekanan sesaat hingga benaknya yang berpikir terlalu keras.
"Serius, kamu enggak apa-apa?"
"Iya, aku enggak apa-apa."
Dan itu adalah kebohongan besar yang Athanasia lontarkan saat ini. Pikirannya kalut, tak lagi jernih seperti bagaimana ia menginjakkan kaki di ruangan ini pertama kali. Langkahnya pun kembali mundur dengan tangan yang menggapai bilik tirai dengan gusar.
Kalau seperti ini rasanya, hidupnya seperti bermain kejar-kejaran dengan kematian. Terombang-ambing dalam putaran waktu tanpa adanya umur yang panjang.
Sungguh, Athanasia lelah terus-terusan seperti ini.
Athanasia pun kembali menegakkan punggungnya dan menarik napas panjang. Ia tak ingin berlama-lama di bilik ini lagi.
"Makasih infonya, Jenette. Kuharap kamu enggak bohong lagi kali ini," ucap Athanasia, memaksakan diri untuk tersenyum. Ia pun berbalik, memunggungi Jenette dan menghela napas panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
REINCERNATION [Who Made Me A Princess Fanfic] [✔️]
RomanceApa kalian percaya akan adanya kehidupan kembali? Demi menyelamatkan tuan putri dari putaran reinkernasi, Lucas rela menyelami ruang dan waktu, bahkan mengorbankan sihirnya hanya untuk menemukan gadis itu di abad ke-22. Kegagalan di masa silam tela...