Lucas menapakkan kakinya pada balkon kamar Athanasia. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan malam dan lampu kamarnya masih menyala, menandakan gadis itu masih terjaga. Tanpa permisi, Lucas menggeser pintu balkon dan melangkahkan kakinya ke dalam sana.
Benar saja, Athanasia masih berkutat dengan tumpukan buku tebal di hadapannya. Benar-benar gadis yang tak pernah berhenti belajar. Bahkan saking fokusnya, Athanasia sampai tidak sadar kehadiran Lucas.
Lucas menggeleng pelan, memaklumi kebiasaan tuan putrinya. Ia melangkah mendekat kemudian mengintip apa yang tuan putrinya itu kerjakan. Namun sayang, apa yang Athanasia kerjakan berbanding terbalik dengan apa yang Lucas pikirkan.
Tak butuh waktu lama bagi Lucas untuk memahami Athanasia tulis, lelaki itu langsung menyentil dahi Athanasia dengan perasaan agak kesal.
"Apa lagi yang kamu pikirkan, Tuan Putri?" tanya Lucas yang kini terlihat agak kesal. Ia menarik dagu Athanasia, memaksanya untuk menatap kedua matanya. "Untuk apa menuliskan omong kosong ini, hah!?"
Athanasia menahan nafas, baru menyadari kalau Lucas jarak mereka kini hanya terpaut lima belas senti. Entah sudah berapa lama Lucas berdiri di sana, tapi Athanasia yakin kalau penyihir itu tak butuh lama untuk menyadari apa yang ia tulis. Daftar kemungkinan terburuk yang terjadi pada ledakan sihirnya.
"Hei, jawab aku, Tuan Putri," ucap Lucas agak kesal.
Seharusnya ia berdebar ketika jarak mereka terpaut sangat dekat. Namun melihat kobaran kekesalan pada kedua iris ruby itu. Athanasia hanya bisa mendorong Lucas pelan dan memalingkan wajahnya.
"Aku ... memikirkan sihirku," jawab Athanasia dengan pelan. "Aku juga memikirkan Papa ... Ilia ... Felix ... aku memikirkan semuanya karena aku sama sekali tidak tahu apa yang tengah terjadi, Lucas!"
Lucas menghela nafas panjang dan menyeka rambutnya gusar. Tidak menyangka kalau pikiran itu akan menjadi beban bagi Athanasia. Bukan maksud Lucas tidak memberi tahu semua kenyataannya. Tapi memang ini bukan saat yang tepat. Lebih tepatnya, momen ini belum pas.
Terlalu banyak hal yang Lucas takutkan.
"Aku sudah bilang kan kalau akan memberitahumu? Tenanglah, aku akan menceritakan semuanya. Jadi, kamu enggak perlu memikirkannya dengan berat begitu," ucap Lucas seraya menarik kursi kosong dan duduk di hadapan Athanasia.
"Iya, aku tahu kok." Athanasia mengangguk perlahan. Namun air mukanya berubah cemas dan gelisah. "Tapi terlalu banyak kepingan puzzle di sini ... sampai aku takut ada satu puzzle yang terlewat. Aku ... aku seperti tidak mengenal diriku sendiri lagi, Lucas."
Lucas lagi-lagi menarik nafas panjang dan mengusap tengkuknya. "Maaf udah membuatmu bingung. Aku cuma ... tidak ingin melihatmu kesakitan lagi."
Athanasia mengerjap ketika menyadari perubahan air muka penyihir menara itu. Tidak pernah sebelumnya Lucas memasang wajah sesuram itu saat bersama dengannya. Bahkan saat di masa lampau pun, Lucas tidak pernah terlihat menyedihkan.
Tapi saat ini, lelaki itu terlihat lemah. Bibirnya tak lagi tersenyum. Kesenduan terpancar jelas dari kedua pasang iris rubynya. Benar-benar seperti bukan Lucas.
Athanasia menggigit bibir bawahnya. Sejujurnya, ia juga merasa tidak enak. Apalagi melihat ekspresi Lucas kayak gini. Namun di sisi lain, ia juga harus tahu kebenarannya. Kebenaran tentang semua yang ada pada dirinya, termasuk apa yang terjadi setelah sihirnya meledak saat itu.
"Katakan padaku, Lucas," ucap Athanasia seraya menggenggam kedua telapak tangan Lucas yang dingin. Gadis itu tersenyum lembut dengan sorot mata memohon. "Aku ... tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Aku ... juga tidak mau hal buruk terjadi lagi. Jadi ... ceritakan semua padaku, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
REINCERNATION [Who Made Me A Princess Fanfic] [✔️]
RomansaApa kalian percaya akan adanya kehidupan kembali? Demi menyelamatkan tuan putri dari putaran reinkernasi, Lucas rela menyelami ruang dan waktu, bahkan mengorbankan sihirnya hanya untuk menemukan gadis itu di abad ke-22. Kegagalan di masa silam tela...