Lucas menghela nafas panjang seraya mengusap surai hitamnya dan mengadahkan kepala ke atas, menatap hamparan langit yang masih gelap. Disandarkannya tubuh itu pada pagar balkon gedung seraya melirik sekilas ruang kepala sekolah yang masih berada dalam pantauannya.
Sama sekali tak ada berita bagus. Pasalnya, tekanan sihir gelap masih menyelimuti ruangan itu sepanjang malam.
Lucas berdecih kesal. Sepertinya orang yang melindungi ruangan itu bukan penyihir yang bisa diremehkan. Buktinya, sampai fajar hampir menyingsing pun, tekanan sihirnya tak berangsur lenyap. Bahkan, tekanan sihir gelap itu kini terasa lebih berat dibandingkan sebelumnya.
Jujur saja, ini membuatnya semakin curiga. Tidak mungkin seseorang menggunakan sihir sebegitu besarnya hanya untuk melindungi ruangan persegi itu dalam satu malam jika tidak ada apa-apa. Lagipula malam-malam sebelumnya pun, meskipun ruangan itu terlindungi, tekanan sihirnya masih dalam batas kewajaran. Sama sekali tidak terasa seberat ini.
Lucas mengernyitkan keningnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa telah ada orang yang mencurigai identitasnya. Atau jangan-jangan telah ada yang menyadarinya langsung?
"Jangan mentang-mentang kalian bisa masuk ke sini dengan beasiswa, semuanya berjalan mulus begitu aja."
Lucas tersentak ketika teringat kalimat tersebut. Pikirannya pun langsung beralih pada professor yang pernah ditemuinya tempo hari di perpustakaan. Ucapan sinis dan tatapan tajam dari kedua iris hitam itu membuat Lucas tersenyum kecut. Lucas baru ingat kalau ia bisa merasakan jejak sihir gelap di tubuh lelaki itu.
Ah, benar juga. Sepertinya Lucas tahu siapa dalang di balik semuanya. Tidak mungkin orang itu mengatakannya tanpa alasan jika dia tidak menyadari sesuatu, bukan?
Tap. Tap. Tap.
Baru saja Lucas ingin beranjak dari tempat itu, suara langkah kaki membuat gerakannya tertahan. Siluet bayangan hitam itu mendekati Lucas dengan langkah tegap. Postur tubuh yang lebih pendek darinya dengan juntaian rambut yang tergerai di punggung itu menyadarkan Lucas akan kehadiran seorang gadis dari kegelapan tersebut.
"Wah, wah. Tidak kusangka aku benar-benar bertemu dengan mantan penyihir legendaris nomor satu Obelia." Kalimat itu terlontar tanpa intonasi. Tatapan datar menyoroti Lucas saat sosoknya mulai tampak. "Aku tahu kalau pertemuan ini memang telat, tapi setidaknya ini lebih baik daripada tidak sama sekali."
Lucas kembali mengerutkan keningnya dengan heran. Seorang gadis dengan helaian rambut peraknya menatap datar dengan dua iris yang berbeda warna. Hijau dan biru.
Gadis itu tak menunjukkan ekspresi apapun. Bahkan meski kalimatnya terdengar mengaggumi pertemuannya dengan Lucas, wajahnya sama sekali tak menunjukkan perasaan tersebut.
"Siapa kamu?" tanya Lucas dengan gamblang. "Kalau kamu cuma seseorang yang ingin basa-basi denganku, maaf saja aku tidak punya waktu."
"Astaga, dingin sekali. Padahal Anda rela memantau suatu ruangan dalam beberapa jam, tapi tidak mau berbasa-basi dengan orang baru? Anda memang aneh, ya."
"Ck, siapa kamu?" tanya Lucas seraya mengetuk-ngetuk kakinya tak sabar.
"Hm? Siapa saya? Bukankah Anda bisa menebaknya dengan sihir, Tuan Penyihir?" tanyanya seraya melirik kedua tangannya yang kosong.
"Heh? Buat apa aku menggunakan sihir jika orang sepertimu mempu berbicara lancar?" tanya Lucas dengan nada dingin. Ia melipat kedua tangannya dan melirik tajam. "Mengetahui aku sebagai seorang penyihir dengan sendirinya ... jelas-jelas kamu juga seorang penyihir, kan?"
"Karina. Panggil saja Karina." Gadis itu mengangkat tangannya dan seketika itu pula sebuah tongkat muncul dalam genggamannya. "Iya, aku juga seorang penyihir yang terlahir di era ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
REINCERNATION [Who Made Me A Princess Fanfic] [✔️]
RomanceApa kalian percaya akan adanya kehidupan kembali? Demi menyelamatkan tuan putri dari putaran reinkernasi, Lucas rela menyelami ruang dan waktu, bahkan mengorbankan sihirnya hanya untuk menemukan gadis itu di abad ke-22. Kegagalan di masa silam tela...