Athanasia sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Terlihat dari kantung matanya yang sedikit menghitam. Rasanya ia hanya sekedar memejamkan mata, sama sekali tak merasa tidur atau bahkan masuk ke dalam alam mimpi. Benaknya terlalu riuh untuk beristirahat. Bahkan ia sampai terbangun jam empat pagi, sesuatu hal luar biasa yang jarang sekali terjadi.
Dan sekarang, kesialannya pun bertambah setelah panitia mengumumkan volunteer yang bertugas untuk membantu festival di shift pagi. Pasangannya adalah Jenette, gadis yang pernah sengaja mencelakainya.
Athanasia tentu saja langsung syok bukan main. Dari sekian puluh orang volunteer yang dimintai tolong, kenapa dia harus yang dipasangkan dengan Jenette!?
Parahnya lagi, mencoba bertukar pasangan pun tetap tak diperbolehkan. Sepertinya takdirnya memang sial pagi ini.
Sial sekali.
Athanasia melirik, memperhatikan Jenette yang sedari tadi menunduk di sebelahnya. Dari tadi gadis ini bersikap seperti robot. Hanya melakukan apa yang disuruh tanpa berucap sedikit pun.
Aneh, tapi entah kenapa Athanasia jadi sedikit was-was, takut kalau gadis disebelahnya itu akan meracuni atau melakukan hal yang akan mencelakainya, mengingat Jenette adalah pelaku yang sengaja mencoba mencelakainya hingga sekarat beberapa minggu lalu.
Parahnya lagi, gadis ini sama sekali belum meminta maaf padanya. Atau mungkin dia memang tidak merasa bersalah sedikit pun atas kejadian itu.
Wajar kan kalau Athanasia bersikap waspada?
"Ugh ...." Jenette merintih perlahan sembari memegang kepalanya.
Athanasia refleks menahan lengan dan menatapnya cemas. "Ka-kamu enggak apa-apa?" tanyanya cepat. Detik kemudian, ia kembali merutuki dirinya sendiri. Tubuhnya memang bergerak dengan sendirinya, tapi ngapain dia repot-repot menolong gadis yang telah mencoba membunuhnya ini?
"Kepalaku sedikit sakit, tapi enggak apa-apa ...." Jawabnya tanpa melihat Athanasia. Dilepasnya tangan itu dengan pelan seraya memalingkan muka.
Athanasia menghela napas panjang sambil menyeka surai pirang keemasannya dengan sedikit gusar. Mungkin ia memang waspada, tapi jika orang yang diwaspadainnya tiba-tiba kesakitan seperti ini, ia harus bagaimana?
Membiarkannya begitu saja sampai terlihat jadi jahat di depan orang? Atau tetap menolongnya tanpa melepas kewaspadaan?
Tidak mungkin ia memilih pilihan pertama. Sekalipun ia membenci orang, Athanasia bukanlah Lucas yang mudah mengabaikan orang.
"Ayo, istirahat dulu. Sepertinya kamu kelelahan," ucap Athanasia pada akhirnya. Ia mengulurkan tangan, tetapi Jenette langsung menepisnya.
"E-enggak perlu. Aku masih bisa, kok," jawab Jenette sambil meringis. "Kalau aku diam ... justru berbahaya."
Athanasia mengerjap sesaat. "Berbahaya?"
Jenette tersentak dan menutup bibirnya, seperti seseorang yang telah keceplosan akan suatu hal penting. Menyadari hal ini, Athanasia langsung menarik tangan Jenette, memaksa gadis itu untuk tetap melihatnya.
"Apa maksudmu berbahaya? Kamu enggak berencana mencelakai orang lain seperti kamu mencelakai aku waktu itu, kan!?"
"A-apa maksud—"
"Jangan pura-pura enggak tahu! Gara-gara tingkahmu waktu itu ... aku hampir mati tahu!" gertak Athanasia, membuat Jenette bergetar hebat.
"Yang dulu enggak perlu diungkit lagi!" Jenette menggigit bibir bawahnya, menolak untuk membalas tatapan sepasang manik biru permata itu. "Kamu ... kamu pikir aku bakal tega berbuat seperti itu lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
REINCERNATION [Who Made Me A Princess Fanfic] [✔️]
RomanceApa kalian percaya akan adanya kehidupan kembali? Demi menyelamatkan tuan putri dari putaran reinkernasi, Lucas rela menyelami ruang dan waktu, bahkan mengorbankan sihirnya hanya untuk menemukan gadis itu di abad ke-22. Kegagalan di masa silam tela...