Setahun telah berlalu sejak kepergian Gabriel. Kehidupan Zilva berjalan seperti biasa, beberapa bulan lagi ia akan belajar di kampus swasta. Karena tak memiliki prestasi apa pun saat SMK, ia gagal masuk ke universitas negeri.
Pekerjaannya lancar, hubungan dengan orang di sekitarnya berjalan lancar tanpa adanya pertengkaran. Gabriel juga masih sering menghubunginya di sela-sela kesibukannya.
Ruth, Alex dan semua temannya juga terkadang menghubunginya meskipun hanya sekadar menanyakan kabar. Levi mulai memperlakukan Zilva dengan hangat. Laki-laki tampan itu sudah menganggap Zilva sebagai adik keduanya.
Sia-sia saja jika Levi menganggap Zilva menginginkan hartanya, karena dugaan itu tidak akan pernah ada di pikiran gadis itu.
"Kenapa gak daftar di universitas yang bagus sekalian?"
"Enggak, makasih. Bukannya aku gak mau yang terbaik untuk pendidikan, tapi aku gak mau dibantu terus sama Kak Levi. Apalagi bantuan sebesar itu." Zilva menolak dengan tegas.
Gadis itu hanya tak ingin hutang budi pada orang lain. Ia bisa kuliah di kampus swasta dengan harga murah saja sudah sangat bersyukur. Ia tak ingin menjadi beban bagi orang lain selain keluarganya.
"Kamu kok selalu nolak bantuanku, sih?" tanya Levi dengan sedikit geraman. "Kalau kutawari nikah sama aku, pasti kamu tolak juga, 'kan?!"
"Iya lah. Apaan tiba-tiba ngajak nikah," ucap Zilva dengan kekehan. "Nanti Kak Levi kena azab nikung pacar adik sendiri, mau? Hahaha."
Levi mengusap kepala Zilva gemas seraya bergumam, "Dasar keras kepala."
"Biarin, wlee." Zilva menjulurkan lidahnya kemudian berlari kecil memasuki kamarnya.
Levi menggelengkan kepalanya maklum seraya tersenyum manis. Laki-laki itu beranjak dari teras dan memasuki rumah berukuran sedang itu.
Untuk ukuran, rumah milik keluarga Zilva memang tak bisa dibandingkan dengan rumahnya yang megah. Hanya saja, kehangatan di rumah ini tak bisa ia bandingkan dengan rumahnya yang selalu hampa.
Levi lebih sering beristirahat di rumah Zilva dibanding menginjakkan kaki di rumahnya sendiri. Lagipula di sana hanya ada para pembantu, pikirnya. Ia pulang beberapa kali dalam seminggu dan itu pun hanya untuk mengambil beberapa pakaian untuknya kerja dan bersantai.
Zilva sempat menolak keberadaan Levi di rumahnya karena ia pikir tak ada alasan untuk Levi menginap di rumah keluarganya. Ia juga heran, padahal jarak rumahnya dengan kantor Levi jadi lebih jauh dibandingkan dari rumah laki-laki itu sendiri.
Di satu sisi, Laila menyambut Levi dengan hangat. Lagipula keberadaan laki-laki itu tak mengganggunya, bahkan Laila merasa senang karena terkadang Levi memberikan uang tambahan untuk belanja keperluan sehari-hari. Ah, laki-laki itu benar-benar tahu diri jika menumpang.
Christ, kakak kandung Zilva itu biasa saja saat melihat Levi yang mondar-mandir di rumahnya. Ya, setidaknya jadi punya temen cowok, pikirnya.
"Zilva," panggil Levi saat melihat Zilva tengkurap dengan mata menatap ponsel di kamar yang pintunya terbuka lebar.
"Hm?" tanya Zilva dengan mata tetap fokus ke ponsel.
"Kamu mau kukasih skincare Ziona, gak?"
Zilva menoleh dengan cepat. "Wah, kenapa baru sekarang nawarinnya?"
"Kamu mau?"
Gadis itu dengan cepat mendudukkan dirinya dan mengangguk semangat. "Mau-mau-mau pakai banget. Sebenernya aku pengen coba salah satu produk Ziona entah face wash atau lainnya, tapi harganya fantastis jadi mikir puluhan kali kalau mau beli. Takut juga udah beli mahal, eh malah gak cocok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend In My Dream
Teen FictionMIMPI. Semua orang menganggap apa yang ada di dunia mimpi tak akan terjadi di dunia nyata. Tapi sepertinya itu semua tak berlaku bagi Zilva. Gadis bertambun itu dikejutkan dengan kehadiran laki-laki yang mengaku sebagai pacarnya yang sebelumnya ia...