14. Pelukan

451 33 7
                                    

Nyatanya, walau memeluk seribu laki-laki lain pun, tak mampu menghilangkan rinduku padanya.

-Zilva 🐽

♫~♥~♫

Hari terus berganti hari. Empat puluh hari sudah Zilva menjalani magang di rumah sakit luar kota.

Selain sibuknya Zilva dengan magang, ia juga disibukkan dengan pengerjaan laporan magang, hingga membuat gadis itu jarang berkomunikasi dengan kekasihnya.

Saat Zilva berusaha menyempatkan waktu untuk berbicara dengan kekasihnya walau hanya sebentar, namun nyatanya sang kekasih juga sibuk dengan urusan sekolah.

Begitu juga sebaliknya, saat Gabriel berusaha untuk menghubungi Zilva, yang terdengar hanyalah nada tunggu yang paling ia benci, lalu tak lama dijawab oleh operator.

Hari ini magang Zilva libur. Awalnya, gadis itu disuruh oleh teman sekelompoknya untuk mengetik laporan magang, tapi ia menolak dengan keras agar ia bisa beristirahat dengan damai walau cuma sehari.

Ia mengutak-atik ponselnya, berusaha untuk menghubungi Gabriel. Tapi ia begitu bodoh, jam dinding masih menunjukkan pukul empat pagi, itu artinya sang kekasih masih bergelung di balik selimut hangat.

Sudah berulang kali ia menelpon Gabriel, tapi hanya sang operator yang menjawab panggilannya.

Ia memutuskan pergi ke dapur dan memasak air untuk ia pakai mandi di pagi ini. Gadis itu ingin me-rilex-kan tubuhnya.

Setelah air yang dimasak mendidih, dengan segera ia mandi dan membersihkan diri sambil konser di kamar mandi.

Zilva membuka pintu kamar mandi setelah beberapa menit melakukan kegiatan. Ponsel yang tergeletak manis di atas ranjang bergetar dan berdering dengan keras.

Tanpa basa-basi Zilva berlari kembali ke kamarnya dengan keadaan tubuh yang masih terbalut handuk.

Brukk

Bagus, dia tersungkur dengan keadaan hidung terbentur ubin dingin. Bahkan tangannya belum menyentuh ponsel. Untung saja lilitan handuknya tidak terlepas.

"Halo, Gabriel. Kamu gimana? Sehat, 'kan? Gimana sekolahmu? Baik-baik aja, 'kan? Boleh jujur gak, sih? Aku kangen, hehe," seru Zilva dengan cepat.

"Apaan, sih, Vania." Sang penelpon tertawa. "Kamu nggak pulang? Besok libur gak?"

"Ah ..., Kak Christ kampret!" teriak Zilva. "Aku hari ini libur. Nanti siang aku pulang, deh. Bawain apaan? Tapi uangnya ganti, ya. Hehe."

"Terserah kamu aja, deh."

Christ menutup panggilannya.
Zilva mengedikkan bahu dan segera berganti baju untuk ia pakai pulang ke rumah. Setelah itu ia merapikan kamarnya yang tampak berantakan.
Perutnya bergejolak merasakan lapar. Ia ingat belum memakan apa pun sejak bangun tidur.

Dengan segera ia mengambil dompet yang ia simpan di tas selempang dan berjalan ke warung terdekat untuk membeli sebungkus nasi.

♫~♥~♫

Panas matahari menyengat kulit gadis gendut yang sedang mengendarai motor menuju jalan pulang. Walau tubuhnya sudah terlapisi dengan jaket yang cukup tebal, tetap saja sang surya berhasil masuk.

Polusi kendaraan yang menyesakkan dada hingga macet kendaraan, sungguh membuat Zilva ingin mengumpat berulang kali.

Disaat rasa putus asa sudah berada di ujung tanduk, matanya menangkap penjual es kelapa muda. Ia menengguk salivanya. Kesialan hari ini sungguh membuatnya dehidrasi.

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang