60. Kenapa Kamu Sembunyikan?

85 7 0
                                    

Sehari setelah kejadian di koridor rumah sakit, keadaan Zilva tetap sama. Bungkam, kosong dan enggan berekspresi.

Laila duduk di dekat situ dengan tangan yang sibuk mengupas jeruk yang nantinya akan dimakan oleh putri semata wayangnya.

Keduanya terkejut ketika mendengar ketukan di pintu. Laila menelan salivanya dengan susah payah sebelum bertanya, "Siapa?"

"Ini saya Alex sama Ruth, Tante."

Laila mengembuskan napas lega. Ibu dua anak itu masih takut jika Gabriel atau Levi yang datang, Zilva akan semakin menderita.

"Iya, masuk aja," jawab Laila.

Pintu terbuka, kedua sahabat Zilva masuk dan mencium punggung tangan Laila dengan sopan. Alex menyerahkan semua kantong plastik yang ada di tangannya ke Laila. "Tante, ini kita bawain makanan, roti, buah dan jajanan sehat lainnya untuk Zilva dan keluarga."

"Waduh, jadi ngerepotin kalian, nih. Terima kasih, ya."

"Enggak ngerepotin lah, Tante. Zilva kan sudah kami anggap saudara," ucap Ruth.

Laila mengangguk seraya tersenyum manis. Ia menaruh semua bawaan dari kedua sahabat putrinya di atas nakas dan berjalan keluar membiarkan para anak muda berbincang dengan santai.

"Zilva, gimana keadaanmu?" tanya Ruth seraya meraih tangan Zilva. Keduanya duduk di kursi yang ada di dekat situ.

"Lumayan, kaki sama punggung masih sakit, sih. Tapi kata dokter proses penyembuhanku termasuk cepet."

Alex dan Ruth mengembuskan napas lega dan tersenyum mendengar kabar baik itu. Mereka sudah khawatir sejak mendengar kabar bahwa Zilva kecelakaan di pabrik.

"Zilva, aku dengar dari Kak Christ kalau kamu ada sakit mental, ya?" tanya Alex tiba-tiba.

Ruth menoleh kaget karena mendengar pertanyaan itu. Ia menyenggol lengan Alex dengan kasar dan berseru, "Alex g*blok! Kenapa langsung tanya kayak gitu, njir?"

Alex tak menggubris gadis disebelahnya dan malah menambah pertanyaan, "Kenapa kamu selama ini gak bilang ke kami, Zilva? Kami bisa bantu untuk sembuhin kamu, dengan begitu kamu gak menderita lagi karena kambuh."

Ruth setuju dengan ucapan Alex, tapi menurutnya ini bukan waktu yang pas untuk mengatakan hal itu. Zilva baru saja di puncak penderitaan karena penyakit amnesianya.

"Aku gak sakit. Apa yang harus disembuhin? Aku gak gila. Jadi aku gak perlu psikolog atau ahli mental lainnya. Mentalku gak apa-apa dan aku gak gila," ucap Zilva dengan sedih. "Ah ... apa kalian udah gak mau temenan sama aku karena aku gila? Gak apa-apa, kok. Aku kalau jadi kalian juga males temenan sama orang gila kek aku."

Hati kedua sahabatnya menjadi lara mendengar semua ucapan itu keluar dari mulut Zilva. Kenapa Zilva berpikir sejauh itu?

Zilva tersenyum getir. Ia sudah tahu hal ini akan terjadi. Alasan dulu ia selalu menyembunyikan sakit kepalanya karena ia tak ingin jadi beban orang lain, terutama keluarganya.

Lagipula yang penting baginya adalah masih mengingat semua tentang kebahagiaan di hidupnya. Jadi ia tak pernah mempersalahkan sakit yang menyerang kepalanya di setiap mengingat sesuatu yang terkubur jauh dalam otak.

"Bukan gitu maksud Alex, Zilva. Si anak g*blok ini ..., " geram Ruth pada Alex, "dia cuma pengen kamu bagi kesusahanmu ke kami. Seberat apa pun itu, kami akan bantu kamu walau sesibuk apa pun itu."

Zilva diam beberapa saat. Setelah itu ia tertawa kecil. "Oh gitu? Sesibuk apa pun itu? Terus kenapa udah seminggu lebih sejak aku sadar dari koma kalian baru muncul sekarang?"

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang