17. Tragedi Wisuda (2)

378 35 2
                                    

Entah kenapa pertanyaan sepele itu yang paling kubenci.

-Zilva 🐽

♫~♥~♫

“Zilva, kamu yakin besok berangkat sendirian?” tanya Ruth sambil mencium aroma bunga mawar di tangannya.

Gadis di depannya mengangguk yakin. Saat ini kedua gadis itu tengah memilih dua buket bunga yang akan diserahkan pada wisuda Gabriel dan juga Gabe.

Zilva sudah menganggap Gabe sebagai temannya, walaupun ia tak kenal baik sebelumnya.

“Aku tanya sekali lagi, nih. Kamu yakin ke wisuda Gabriel sendirian? Atau mau kutemenin? Ajak Alex juga, deh. Gimana?”

“Yakin, Ruth. Tenang aja,” jawab Zilva dengan senyuman manis.

“Aku takut kamu gak biasa sama acara formal yang besar gitu.”

Zilva menoleh dengan cepat. Ia kaget mendengar sahabatnya sendiri meremehkan dirinya. “Aku gak sepayah yang kamu pikir, Ruth!” Ia memanyunkan bibirnya.

“Iya deh percaya yang mentalnya kuat,” cibir gadis berwajah imut di depannya.

♫~♥~♫

“Gila! Ini aula sekolah apa Gelora Bung Karno? Gede banget!” pekik Zilva pelan kala memasuki aula sekolah Gabriel yang sudah penuh dengan orang.

Ia merasa seperti kerikil di antara berlian. Bagaimana tidak, semua manusia di depannya terlihat glamor, mulai dari pakaian hingga sikapnya yang benar-benar elegan.

Zilva yang tubuhnya hanya berbalut kebaya toska yang ia pakai saat wisuda dengan bawahan rok batik cokelat, juga rambut yang digerai sederhana membuatnya tersenyum miris. Ia mulai jadi pusat perhatian karena gaya pakaiannya.

Oi, biasa aja, dong, liatnya! Jadi insecure, nih, batin Zilva. Ia mendudukkan dirinya di kursi yang sudah tertera namanya.

Kursi kosong di sebelahnya kosong. Ia menengok ke nama orang yang tertulis di sana. Pak Levi. Bagus, Zilva sekarang berkeringat dingin. Mantan bos-nya itu sungguh membuat hidupnya tak tenang.
Zilva mulai gugup. Setiap beberapa detik, ia menengok ke arah pintu masuk, siap-siap mental karena harus duduk berdampingan dengan seseorang arogan yang selalu memandangnya jijik.

Suara pembawa acara menggema di seluruh ruangan itu, Zilva sontak menoleh ke sumber suara. Terlihat sepasang perempuan cantik dengan laki-laki tampan yang memiliki senyum indah, berhasil membuat gadis itu lupa tentang Levi.

Ketika sesi wisuda berlangsung, Zilva malah asyik meneliti setiap murid yang ada di sekolah itu. Akibat dari perbuatannya itu, ia malah merasa insecure karena membandingkan fisiknya yang kurang cantik.

“Ananda Gabrielo Othniel Serafin,” panggil salah satu pembawa acara.

Zilva kelimpungan. Ia dengan cepat mengambil ponselnya yang ia simpan di tas kecil dan segera mengabadikan momen bahagia itu. Beberapa orang sempat membicarakannya saat ia berdiri untuk mengambil foto, terdengar sangat jelas di telinganya.

Gadis berlemak lebih itu kembali duduk di kursinya. Ia bernapas lega ketika melihat kursi Levi yang masih kosong.
Tangannya membuka kembali foto yang baru saja ia jepret. Kekasihnya sangat tampan dengan balutan jas hitam legam dengan kemeja putih di dalamnya. Rambut yang dipangkas tidak terlalu panjang menambah tingkat ketampanan laki-laki itu.

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang