Kita hanya terpisah oleh jarak dan waktu. Jangan pernah berubah hanya karena kita tak pernah bertemu.
-Zilva 🐽
♫~♥~♫
Seminggu sudah Zilva melakukan uji coba kerjanya, dan Bella benar-benar menyukai sosok Zilva yang jujur, ramah dan berkuasa dalam bidangnya walau tidak seluas pendidikan di atasnya.
Zilva sudah memberi tahu keluarganya tentang ini, bahwa gadis itu resmi menjadi karyawan di apotek yang tidak terlalu besar di pinggir jalan dengan lokasi strategis. Saat ia diberi tahu lulus uji coba, ia benar-benar senang hingga pembeli yang baru saja memasuki apotek langsung menatapnya dengan tatapan tanya.
Tiba saatnya hari ini, hari ke sembilan saat ia baru berganti shift dengan karyawan yang lain, masalah yang sangat fatal—bukan dia pelakunya—menimpanya saat ia berjaga sendirian karena satu karyawan yang seharusnya bersamanya sedang cuti.
"Mbak, ini salah obat! Iya saya tahu namanya mirip, tapi kalau kerja yang teliti, dong!" Ibu-ibu dengan umur kira-kira kepala empat itu membanting dengan keras bungkus obat yang sudah dibuka lengkap dengan nota yang diberikan.
"Mohon maaf, atas pelayanan kami yang kurang baik, Bu. Akan saya ganti dengan obat yang benar, dan ibu tidak perlu membayar obatnya."
"Ada apa, Zilva?" Beruntung Bella masih setia di apotek itu dan mengetahui masalah ini di depan matanya sendiri.
"Bu, ini tolong karyawannya diajari yang benar kalau kerja!" bentak ibu itu dan Zilva hanya bisa menunduk.
"Maaf sebelumnya, Bu, tapi ini sebenarnya ada masalah apa, ya?" tanya Bella baik-baik.
Ibu itu menjelaskan apa yang terjadi saat ia membeli obat di apotek tempat Zilva bekerja. Bella mengangguk paham dan mengucapkan maaf berulang kali, lalu menggantikan obat dengan yang baru.
"Ini bukan kesalahan kamu, Zilva, tenang aja." Bella menatapnya dengan raut datar andalannya. "Bentar, tapi kenapa kamu gak tanya ke ibu itu siapa yang ngelayanin beliau? 'Kan bukan kamu yang ngelakuin kesalahan itu?"
"Iya, Bu. Lagipula yang penting saya ganti obatnya dengan yang baru. Untuk siapa pelakunya, itu biar urusan sama Tuhan sendiri." Zilva tersenyum miris.
Bella mengembuskan napasnya. "Saya tahu kamu berniat baik, tapi kamu terlalu baik, Zilva. Tanya saja, terus tegur karyawannya langsung, atau kalau kamu gak berani, kamu bisa langsung beritahu saya saja."
"Pilihan kedua malah tidak berani, Bu. Saya takut di cap tukang adu." Zilva terkekeh kecil.
"Tidak, Zilva. Kamu harus tegas. Kalau kamu gak salah, bilang yang sebenarnya. Hal ini jadikan pelajaran, dan jangan lakuin lagi!" pesan atasannya itu.
Gadis berwajah bulat nan manis itu mengangguk patuh dan tersenyum pasrah. Ia kembali merapikan obat yang baru datang dari pabrik besar farmasi. Sesekali ia tinggalkan untuk melayani pembeli.
Seorang pria datang dan berdeham cukup keras. Zilva yang sibuk menata obat-obatan di etalase tak mengindahkannya. Ia sudah terbiasa mendengar dehaman laki-laki yang bekerja di toko sebelah yang biasa menggoda karyawan seniornya yang memang cantik.
"Zilva," sapa laki-laki itu.
Tubuh Zilva menegang. Ia mendongak dengan perlahan dan matanya sukses melebar karena terlalu kaget. Ia sontak berdiri dengan cepat dan merapikan pakaiannya.
"Kak Levi?" Zilva mengerjap dengan cepat. "Kak Levi kok tahu aku ada di sini?" Pertanyaan Zilva sungguh konyol.
"Dari mamamu. Kenapa kamu gak bilang kalau kerja di sini?" tanya Levi dengan raut datar dan kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celana hitamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend In My Dream
Novela JuvenilMIMPI. Semua orang menganggap apa yang ada di dunia mimpi tak akan terjadi di dunia nyata. Tapi sepertinya itu semua tak berlaku bagi Zilva. Gadis bertambun itu dikejutkan dengan kehadiran laki-laki yang mengaku sebagai pacarnya yang sebelumnya ia...