24. Pertengkaran di Apotek

306 25 2
                                    

"Apa-apaan sih Kak Levi?!" teriak Zilva ketika Levi duduk dengan tenang di depannya menunggu suapan selanjutnya.

"Aku juga lapar, Zilva. Suapi aku makan bekal dari mamamu itu atau ... aku aduin ke Gabriel kalau kamu selingkuh sama sahabat culunmu yang bernama kelex itu?" ancam Levi dengan seringai kecil di bibirnya.

"Kelex-kelex, Alex namanya!" Zilva menautkan alisnya. "Tunggu bentar. Aku sama Alex gak ada apa-apa dan Gabriel sudah tahu hal itu. Jadi, Kak Levi jangan ngomong ke Gabriel yang aneh-aneh, ya."

"Sudah jangan banyak bicara dan suapi aku karena aku masih lapar." Levi menunggu Zilva untuk menyuapkan makanan lagi.

Zilva menghela napas pasrah dan mulai menyendokkan makanannya. "Tuhan, kenapa bisa ada bayi besar dengan wajah tampan dengan sikap semena-mena di dekatku ini? Apa ini semacam bencana yang Kau kirim padaku? Apa aku sudah melakukan dosa yang sangat besar?" Zilva mendongak menatap langit-langit apotek.

"Bencana? Kau menyamakanku dengan tsunami yang dapat melahap banyak korban, begitu?" Levi menatap datar manik Zilva.

"Iya, sama-sama melahap. Kalau tsunami melahap korban jiwa, sedangkan Kak Levi melahap nasi gorengku dan tak mempedulikan aku yang gak kenyang hanya dengan setengah porsi."

Levi mengeluarkan raut dingin andalannya. Zilva tersentak melihat raut itu. Ia menelan saliva dengan susah payah.

"Ish, biasa aja dong wajahnya." Zilva menampar pelan wajah mulus milik Levi. Tangannya bergerak menyuapi Levi untuk yang kedua kalinya.

Levi membuka mulutnya dan Zilva gemas melihat pose itu. "Duh, tadi cool, sekarang cute. Kak Levi, kenapa kamu dan Gabriel begitu tampan? Apa jangan-jangan Kak Levi dan Gabriel seminggu sekali makan bunga kamboja?"

"Kamu kalau lagi lapar, ngomongnya suka ngaco, ya?" tanya Levi setelah selesai mengunyah. "Kamu juga makan, Zilva. Kalau gak kenyang, nanti sore setelah kamu kerja kita makan lagi di warung atau resto."

"Iya-iya, aku makan nih." Zilva menyuapkan sendoknya dengan kasar.

"Kalian ..., " ucap senior Zilva―yang keberadaannya terabaikan―dan sontak mereka berdua menoleh ke arah perempuan itu. "Satu sendok buat berdua ... itu bukannya ciuman tidak langsung, ya?"

"Haha, apaaan sih Kakak Cantik ini. Aku sudah biasa kok satu sendok sama pacarku karena memang keadaan darurat," ujar Zilva dengan canggung. "Lagipula aku gak pernah mikir sampai situ kok. Selama aku, Gabriel dan juga Kak Levi sehat dan tidak memiliki penyakit yang dapat menular lewat air liur, berarti masih aman, hehe."

Levi tersentak sebentar, rona merah sempat menghiasi pipinya tanpa ia sadari. Sendok yang berisi nasi goreng melayang di depan mulutnya. Gadis di depannya tetap menyuapi mulut Levi yang masih tertutup.

"Oi!" pekik Levi saat menyadari Zilva memaksa suapannya.

"Abis Kak Levi lama amat. Aku kerja dibayar bukan buat nyuapin bayi besar tampan di depanku ini!"

"Punten, tumbas!"

*Permisi, beli!

"Lihat? Ada pembeli, tuh," ucap Zilva.

Saat Zilva berniat berdiri untuk melayani pembeli, dengan santainya Levi menarik lengan gadis itu dan membuatnya terduduk kembali.

"Hei! Bisakah kau menggantikan Zilva walau hanya sekali? Apa jangan-jangan kau berniat memakan gaji buta? Dari pagi aku lihat hanya Zilva yang kerja dan kau hanya sibuk dengan ponselmu kemudian beralih menggodaku," ucap Levi dengan tegas pada senior Zilva.

"Lo kenapa tiba-tiba jadi sok ngatur kayak gitu, sih? Gue sudah hampir setahun kerja di sini, dan perempuan gendut bodoh itu baru tiga bulan kerja. Setidaknya lo berterima kasih ke gue, karena gue yang sudah banyak kasih dia pengalaman!"

"Oh ..., keluar juga akhirnya sifat busukmu itu." Levi tersenyum miring.

"Punten, tumbas!"

Rupanya sang pembeli tak peka dengan situasi. Zilva yang melihat pertengkaran kedua insan itu berdiri dan segera melayani pembeli tersebut.

"Lihat? Dia hanya beli obat penurun demam aja. Alay banget Kak Levi!"

Zilva duduk dan menyiapkan suapan untuk laki-laki di depannya.

Levi geram. Rahangnya mengeras. Dengan tiba-tiba Levi menyentak lengan Zilva dan mendekatkan bibirnya di samping telinga perempuan itu.

"Kamu adalah gadis polos bodoh yang mudah sekali ditipu. Aku doakan semoga kau masih bisa terus hidup dengan sifat seperti itu!" tegasnya. Ia menjauhkan diri dari gadis di depannya.

Zilva bagai membeku di tempat. Telinganya terasa perih ketika mendengar hinaan dari Levi. Ia ingin marah, tapi ia tidak ingin membuat masalah baru lagi.

Air mata meleleh dari mata indahnya. Levi dengan teganya meninggalkan Zilva dengan keadaan 'tertampar' seperti itu. Levi hanya ingin Zilva sadar bahwa suatu saat sifat naif-nya itu bisa membawanya pada petaka.

Levi meninggalkan apotek dengan perasaan kesal. Ia masuk ke dalam mobil dan memilih untuk pergi melampiaskannya di suatu tempat.

Zilva dengan cepat menghapus lelehan air yang keluar dari matanya. "Gila Kak Levi, kata-katanya menusuk banget. Ah, sepertinya aku harus bisa segera ber-adaptasi dengan sifat kejamnya."

"Dan Kakak Seniorku yang cantik, gak perlu peduliin manusia kampret tadi, ya? Dia tuh emang gak peka. Dia gak pernah ngerasain gimana rasanya jadi cewek sih! Aku tahu banget kok tadi Kakak lagi nahan nyeri haid. Aku juga tahu kok Kakak gak bisa berdiri karena kesakitan. Jadi, Kakak gak perlu peduliin manusia gak sehat tadi ya, Kak? Tolong maafin sikap biadab-nya ke Kakak, ya?" Zilva menyatukan kedua tangannya meminta maaf. Berharap agar tidak membuat mood perempuan di depannya semakin buruk karena hormon haid yang labil.

"Maaf juga ya, Zilva. Aku tadi bilang kamu bodoh dan gendut. Mulut aku bener-bener kejam banget."

Zilva tertawa ringan. "Kalau gendut, itu adalah sebuah fakta yang tak bisa kuelak, Kak." Zilva tertawa lagi. Kini lebih keras.

Di tempat yang dikelilingi berbagai obat-obatan itu, keduanya tertawa lepas.

♫~♥~♫

Zilva yang tengah sibuk membersihkan etalase depan, dikejutkan dengan ponselnya yang berdering karena ada panggilan. Sebuah nada dering―yang memang sengaja ia atur―berbeda dari yang lain membuat bibirnya terbit senyuman lebar.

Nada dering itu mengalun singkat hingga akhirnya terhenti karena Zilva mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, Gabriel. Kenapa?" ucap Zilva sebagai pembuka.

"Enggak, aku cuma mau bilang sesuatu aja."

🍃🍃🍃

Bersambung :)
Vote dan komen? ❤

See you next update, beib

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang