"Terlambat," gumamnya pelan.
"Apa?" tanya Zilva memastikan.
"Nggak apa-apa, kok. Aku cuma mau mastiin kalau kabarmu baik."
"Aku sehat, kok. Kamu gak perlu khawatir." Zilva tersenyum. "Gimana pendidikanmu? Lancar?"
"Ya."
Hening. Zilva memikirkan topik yang akan dibahasnya. Ia menggigit bibir bawahnya. Ia merasa ada yang mengganjal dari Gabriel.
"Zilva, kamu bisa yakinin aku lagi nggak?"
Gadis itu mengernyit. "Apa?"
"Yakinin aku kalau kita masih bisa lanjut."
Zilva tersentak hebat. "APA MAKSUDNYA ITU?!" teriaknya hingga membuat beberapa orang di sekitarnya terkejut.
"Aku merasa ada yang berbeda."
"KAMU KALAU ADA YANG MAU DIBICARAIN SERIUS, TUNGGU SAMPAI WISUDA! ATAU KALAU KELAMAAN AKU SUSUL LANGSUNG KE ASRAMAMU BESOK SETELAH DARI JOGJA, GIMANA?!" Zilva sudah berada di batasnya.
Gadis itu merasakan sesak di dadanya ketika kalimat "berbeda" keluar dari mulut kekasihnya. Ia tak pernah semarah itu ke Gabriel.
"Karena itu tolong yakinin aku, Zilva," lirihnya. "Tadi siang aku telepon kamu buat yakinin perasaanku, tapi ternyata gak pernah dikasih kesempatan. Terlambat."
Air mata Zilva menetes deras. "Gabriel, kenapa kamu kek gini? Kita udah jalan hampir delapan tahun loh, kok kamu tega, sih? Terus apa artinya cincin ini kalau perasaanmu udah beda? Aku tahu jaga hati itu susah, aku tahu itu. Aku tahu, mungkin saja ada sosok pengganti di sela-sela kesibukanku yang bahkan gak sempat jawab teleponmu. Tapi percayalah, aku selalu menunggu dering ponsel darimu. Jika benar ada penggantiku, oke aku sadar diri. Aku mungkin gak akan pernah bisa dibandingin sama dia. Tapi apa kamu yakin perasaanmu ke aku udah beda? Tolong, gali sampai ke sudut hatimu yang paling kecil, mungkin masih ada secuil cinta untukku. Gabriel, aku percaya penuh sama kamu. Aku yakin, ruangku di sudut hatimu menempel permanen walaupun tertutup sosok lain untuk sementara."
"Bukan begitu, Zilva."
"TERUS APA, GABRIEL?!" teriaknya frustrasi seraya menangis kencang. "Hiks, hiks ... aku udah nggak tahu lagi mau pakai cara apa buat yakinin kamu lagi."
Gabriel terdiam sesaat. "Zilvania, gak perlu nekat ke sini. Kamu tenang aja. Biar aku yang urus perasaanku sendiri."
Zilva terduduk di jalanan dan menangis dalam diam. Alex yang melihat gadis itu tiba-tiba terduduk dengan spontan berteriak dan menghampirinya. Levi dan yang lainnya sontak menoleh dan ikut berlari mendekati.
"Zilva, kamu kenapa?" tanya Alex khawatir.
"Gak apa-apa kok." Ia mengangkat wajahnya yang sembab dan penuh air mata itu seraya tersenyum. "Alex, tolong beliin empat kaos sama bakpianya dua, ya. Aku percayakan ke kamu."
Zilva menatap ke arah Levi dan juga teman-temannya kemudian melanjutkan ucapannya, "Kalian bisa lanjut belanja. Ruth, temenin aku di sini."
Ruth mengangguk beberapa kali. Ia mengambil dompet di tasnya dan memberikan beberapa lembar uang seratus ribu ke Alex dan berucap, "Lex, aku pesen sama yang dipesen kek Zilva."
"Aku temenin kamu di sini. Kamu pasti di apa-apain sama Gabriel, 'kan?" tanya Levi khawatir.
"Kak, ini urusan perempuan," jawab Ruth.
Levi terdiam. Ia menghela napas dan mengangguk paham. Ia segera menarik semua laki-laki itu dan pergi berbelanja walau perasaan mereka kacau.
Ruth yang melihat semua laki-laki itu sudah menghilang dari pandangan, dengan segera menuntun Zilva untuk duduk di bangku terdekat. Ia mengusap rambut Zilva dengan sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend In My Dream
Teen FictionMIMPI. Semua orang menganggap apa yang ada di dunia mimpi tak akan terjadi di dunia nyata. Tapi sepertinya itu semua tak berlaku bagi Zilva. Gadis bertambun itu dikejutkan dengan kehadiran laki-laki yang mengaku sebagai pacarnya yang sebelumnya ia...