"Kamu minta ikut tapi kenapa wajahnya jelek gitu?" tanya Levi saat melihat Zilva duduk diam di mobil dengan ekspresi murung.
Zilva menoleh perlahan. "Aku sadar aku jelek, Kak. Jangan body shamming gitu dong. Jadi tambah sedih nih."
"Abis mukamu lecek banget kayak mau nangis gitu. Jangan nangis, nanti aku beliin es krim rasa cokelat di sana nanti."
Setelah mendengar itu, bukannya berteriak senang, Zilva malah meneteskan air mata hingga akhirnya mengucur deras. "Huwaa ..., Kak Levi .... "
Levi yang tersentak melihat tangisan Zilva dengan segera mencari tempat untuknya menepikan mobil. "Bentar, tunda dulu nangisnya, ini masih cari jalan sepi biar aku bisa fokus dengerin kamu."
Mendengar permintaan Levi, Zilva malah mengencangkan suara tangisannya. Gadis itu menangis tersedu-sedu seperti bocah yang permennya direbut oleh temannya.
"Sebentar, Zilva," ucap Levi lembut berusaha untuk menenangkan gadis itu.
Beberapa meter kemudian, Levi memberhentikan mobilnya di bawah pohon rindang dengan jalanan yang sedikit sepi.
"Oke. Kamu kenapa? Kamu butuh apa?"
"Pertanyaan itu! Itu pertanyaan yang entah kenapa buat aku sakit hati!"
Levi mengernyit. "Apanya sih? Siapa yang tanya kayak gitu sampai kamu sakit hati?"
"Tadi pagi Gabriel cuek banget, Kak. Aku emang nyindir dia, sih. Tapi pertanyaan itu seolah-olah aku pacaran sama dia kalau aku cuma butuh aja! Padahal aku tulus sama dia ..., " gumam Zilva yang masih bisa didengar Levi dengan jelas. Ia mendongakkan kepalanya kemudian berteriak, "Kak Levi tahu sendiri kan kalau aku tulus sama Gabriel?!"
Levi terdiam. Ia menunggu Zilva selesai menceritakan sampai gadis itu benar-benar tenang.
"Tapi kenapa? Kenapa dia secuek itu ke aku, Kak? Apa jangan-jangan dia bosan sama aku? Padahal aku udah nungguin dia selama ini. Aku juga jarang telpon dia duluan karena takut ganggu jadwal dia. Aku tahu aku berlebihan dalam berpikir, tapi aku bukan termasuk orang dengan otak yang selalu berpikir positif ke orang lain. Perasaanku gak enak sejak kemarin dia gak datang ke wisudaku dan lupa ngabari aku. Dari tadi aku pengen buang jauh-jauh dugaan-dugaan itu, tapi gak bisa, Kak. Gimana ini?"
Levi mengembuskan napas pelan. Ia menarik Zilva dalam pelukannya dan mengusap rambut hitamnya. "Kamu percaya sama Gabriel, kan? Kalau aku, aku percaya penuh sama kamu yang mampu dan tetap setia menunggu dia. Aku yakin si Gabriel itu anak yang kalau sudah serius sama satu hal, dia gak akan pernah ninggalin itu. Kamu harus tanam satu hal itu ke pikiranmu."
"Tapi―"
"Kamu pasti bisa yakinin diri kamu sendiri, Zilva. Aku tahu kamu mungkin pernah lelah menunggu Gabriel, tapi percaya deh, hubungan kalian gak akan semudah itu retak hanya karena jarak."
Zilva terdiam sesaat, memikirkan semua ucapan Levi. "Makasih, Kak. Aku harap Kak Levi mendapatkan perempuan yang baik dan yang pasti tidak sepertiku, haha." Zilva melepas pelukannya dan mengusap air mata dengan kasar. "Aku gak boleh begini. Aku harus kuat biar gak jadi beban buat orang lain. Cepat berangkat, Kak. Waktu Kak Levi udah kepotong banyak gara-gara aku."
"Apa pun untukmu, Zilva."
Levi mulai mengendarai mobilnya kembali. Di pagi dengan matahari hangat itu, ia berharap satu hal: Jika kau memang bukan jodohku, aku harap aku mendapatkan perempuan yang baik, setia dan rendah hati seperti kamu, Zilvania Caroline Aleeza.
♫~♥~♫
"Wih, es krim-nya enak, cuy." Zilva menyendokkan es krim itu dengan perlahan dan tersenyum bahagia ketika tiap sendok es krim itu masuk ke mulutnya. "Kak Levi masih lama kek-nya. Sebentar, ini kan gak jauh dari daerah rumahku dulu? Berarti deket sama Gabe dong, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend In My Dream
Teen FictionMIMPI. Semua orang menganggap apa yang ada di dunia mimpi tak akan terjadi di dunia nyata. Tapi sepertinya itu semua tak berlaku bagi Zilva. Gadis bertambun itu dikejutkan dengan kehadiran laki-laki yang mengaku sebagai pacarnya yang sebelumnya ia...