Ketakutanku tidak akan terjadi, 'kan?
-Gabriel 👑
♫~♥~♫
"Halo, Gabriel. Kenapa?" ucap Zilva sebagai pembuka.
"Enggak, aku cuma mau bilang sesuatu aja."
"Kenapa? Kamu udah lulus? Terus besok wisuda? Cepet amat. Jangan-jangan kamu 'nyuap', ya?" cerca Zilva dengan cepat.
"Kamu tuh, ya. Selalu nebak duluan yang aneh-aneh. Aku cuma mau bilang, kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa bilang langsung ke Kak Levi. Apa pun itu, bilang aja ke Kak Levi."
"Kalau aku butuhnya ketemu kamu, gimana dong?" ucap gadis itu lirih namun masih bisa didengar jelas oleh Gabriel.
"Ah ..., kalau itu mustahil Kak Levi bisa ngabulin."
Zilva tertawa kecil. "Aku butuh kamu, bukan yang lain, hehe."
Terdengar Gabriel mendengus pelan. Sebenarnya ia juga sangat merindukan kekasihnya itu, namun apa daya, pendidikan belum bisa mengizinkan mereka untuk melepas rindu satu sama lain.
"Maksud aku, kalau kamu butuh baju, pengen makan yang lain, atau buat perawatan kulit atau apa pun yang butuh uang, kamu bisa minta Kak Levi, ya? Kalau dia nolak, aduin ke aku, biar aku ancam sampai dia mau."
"Astaga, semena-mena banget jadi adik." Zilva terkekeh sekilas. "Aku nggak lagi butuh apa-apa, Sayang. Aku juga udah kerja, jadi bisa beli apa-apa sendiri tanpa minta si Christ, apalagi Kak Levi. Kamu tenang aja, aku gak bakal buat kamu dan kakakmu terbebani."
"Aku sama sekali nggak merasa kalau kamu adalah beban, Sayang. Kamu adalah hadiah terindah yang dihadirkan dalam hidupku."
"Sudah hentikan gombalan recehmu itu," ucap Zilva dengan nada datar. "Kamu gak butuh sesuatu? Mungkin bisa aku aku kirim ke sana?"
"Aku hanya minta kau kirim doa untukku, Sayang."
"Ah ..., kalau itu mah setiap hari. Enggak, bukan itu maksudku. Mungkin kau butuh sun block agar kau tidak gosong saat latihan fisik atau apa gitu?"
Gabriel terbahak mendengar tawaran Zilva. Ia benar-benar heran dengan otak kekasihnya yang bisa berpikir sampai sejauh itu.
"Enggak, Sayang. Kalau barang-barang yang butuh uang kayak gitu, aku bisa minta Kak Levi untuk transfer. Jadi kamu gak perlu repot-repot ya, Sayang."
"Oh, okey."
Zilva mengapit ponselnya diantara telinga dan juga bahu, kemudian melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
"Kamu di sana baik-baik aja, 'kan?" tanya Gabriel di setiap kali menelepon.
Satu kalimat itu yang selalu ia tanyakan pada Zilva hingga gadis itu bosan mengucapkan jawaban, "Iya, aku baik-baik aja."
"Zilva, dengar ini baik-baik. Apakah salah jika aku ingin kamu setia sama aku? Iya, aku tahu ini terdengar egois. Tapi aku sudah jatuh terlalu jauh ke dasar cinta, bahkan aku tak sanggup jika harus kehilanganmu lagi. Setiap hari, aku selalu diliputi rasa takut. Takut kehilangan. Tak apa jika hanya sehari dua hari. Tapi kalau selamanya ... maaf, aku benar-benar tak sanggup, Zilva."
Zilva mengerutkan keningnya heran. "Gabriel, kamu salah makan ya tadi? Jangan-jangan kamu habis nelan buku sajak-sajak punya orang, ya? Gila ini anak. Kenapa tiba-tiba jadi puitis banget, sih?" Zilva terbahak sekilas.
Hening.
"Oke. Aku tahu hal itu, Gabriel. Sangat tahu. Aku juga takut. Takut ada orang baru yang tiba-tiba menerobos dalam kehidupanku. Yang kemudian membuatku nyaman di saat kau tak ada. Hingga berakhir ... kau tak pernah kuanggap ada." Zilva mendengus pasrah.
Gabriel menunduk. Ia bahkan tak mampu walau hanya sekadar membayangkan sosok Zilva meninggalkannya dan pergi ke pelukan orang lain.
Zilva juga takut. Ia takut dengan masa depan. Takut dengan benang merah takdir yang akan membuatnya tertarik dengan seseorang yang lain.
"Kak, saya beli teh botol ini. Berapa, ya?" ucap bocah laki-laki yang ingin membayar sebotol teh yang sudah ia tenggak sedikit.
"Tiga ribu, Dek."
Bocah itu dengan segera mengeluarkan uang sesuai dengan nominal yang disebut Zilva tadi, menaruhnya di atas etalase dan pergi meninggalkan Zilva yang masih setia di posisi diam.
"Oke, Gabriel, untuk saat ini sepertinya gak baik mikirin hal yang belum tentu terjadi. Hmm ..., sepertinya juga gak akan terjadi, sih."
"Kenapa kamu bisa seyakin itu?"
"Felling." Zilva terkekeh.
"Kuharap bukan Kak Levi orangnya."
"Apanya?" Alis Zilva menyatu bingung.
Gabriel tampak menimang-nimang untuk menjelaskan secara gamblang. Ia takut Zilva salah paham.
"Jika kau mencintai orang lain, aku harap orang itu bukan Kak Levi."
Zilva terpaku mendengar ucapan Gabriel. Bagaimana bisa laki-laki itu berpikir hal yang mustahil bagi Zilva?
Gabriel mendesah pelan. Sebenarnya ia juga benci dengan pemikirannya sendiri. Ia selalu menolak mentah-mentah ketika dugaan kakak kandungnya itu akan menyukai Zilva. Tetapi, jauh di ruang hatinya yang kecil, ia juga takut.
Zilva membuang napas berat. "Ya udah sih ya Gabriel. Ini semua belum tentu terjadi juga, ngapain mikir solusi dari masalah yang gak terjadi, sih?"
Gabriel terdiam. Ia merebahkan dirinya di kasur dan menatap langit-langit kamarnya.
"Lupain persoalan tadi. Kamu gak pulang walau setidaknya hanya sekali dalam setahun gitu?" tanya Zilva.
"Masih lama, Sayang. Sabar, ya. Kayaknya aku nggak akan pulang sebelum wisuda. Aku nggak mau pulang, karena apa? Berat ketika harus melihatmu memasang wajah tak rela ketika aku pergi lagi. Cukup sekali saja waktu aku berangkat."
"Ya sudahlah, aku nggak apa-apa kok. Lagipula aku di sini nggak sendirian. Ada keluargaku, temen-temen SMK, senior-senior aku di tempat kerja dan juga ada Kak Levi yang entah kenapa hampir setiap hari ke sini. Aku heran, bukannya kakakmu itu orang yang super sibuk, ya?" Zilva terkekeh pelan.
Wajah Gabriel tiba-tiba menegang. Mungkinkah ketakutannya sudah terjadi?
"Oh, jangan-jangan Kak Levi kamu ancam biar dia ke sini terus, ya?"
"Enggak, Zilva. Aku nggak pernah nyuruh Kak Levi buat nemenin kamu tiap hari. Aku hanya minta tolong jaga kamu, itu saja."
"Duh, kenapa aku bahas beginian lagi, sih?" gumam Zilva. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Gabriel, kamu gak perlu pikirin apa-apa, ya. Kamu fokus sekolah aja di sana. Ingat, jangan nakal dan jangan aneh-aneh!"
"Iya, Mama Zilva." Gabriel terbahak. Beberapa detik kemudian ia terdiam dan wajahnya menegang.
"Apaan, sih. Ya udah ya, Sayang. Ada pembeli, nih," bohongnya. Zilva mematikan sambungan telponnya.
Gadis itu berulang kali membuang napas berat. Seakan semua masalah bisa selesai dengan sekali napas.
"Zilva? Wajahmu kok pucat? Kamu sakit?"
Levi datang dan dikejutkan dengan Zilva yang melamun. Wajahnya terlihat pucat dan juga putus asa. Ia menyentuh kening Zilva memastikan bahwa gadis itu tidak demam.
"AKH!" teriaknya heboh. Zilva dengan cepat menepis tangan Levi yang menempel di dahinya.
🍃🍃🍃
Bersambung :)
Vote dan komen? ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend In My Dream
Teen FictionMIMPI. Semua orang menganggap apa yang ada di dunia mimpi tak akan terjadi di dunia nyata. Tapi sepertinya itu semua tak berlaku bagi Zilva. Gadis bertambun itu dikejutkan dengan kehadiran laki-laki yang mengaku sebagai pacarnya yang sebelumnya ia...