30. Pemicu

276 16 4
                                    

Kamu bukan Vania yang kukenal. Kamu pemicu, bukan penenangku.

-Gabe 🌈

♫~♥~♫

Gabe membuka mata dengan kaget. Matanya menatap kosong langit-langit kamar yang berwarna putih bersih itu. Mimpi? batinnya.

"Gabe? Kamu sudah sadar? Sekarang gimana perasaanmu? Kamu gak apa-apa, 'kan? Mana yang sakit?" Zilva langsung menghujani Gabe dengan pertanyaan ketika melihatnya sadar.

Gabe pelan-pelan menolehkan kepalanya ke samping. Menatap sedih gadis berisi itu. Ia sudah banyak kehilangan stamina hingga tak mampu bahkan hanya untuk menangis.

"Kamu bukan Vania yang aku kenal," gumamnya yang masih bisa di dengar jelas oleh Zilva. "Kamu pemicu, bukan penenangku."

Zilva terdiam. Gadis itu benar-benar tak paham dengan semua yang terjadi. Ia hanya bisa menatap sedih laki-laki bule itu. Tangannya terulur, berniat untuk menggenggam tangan Gabe.

Gabe menjauhkan tangannya. "Jangan sentuh aku."

"Aku benar-benar minta maaf, Gabe. Tadi aku tertelan api amarah, ja―"

"Biarkan aku istirahat ..., Zilva," ucapnya cepat dengan nada lemah.

"Ah ..., baiklah. Kamu boleh panggil aku Vania terus, kok. Sekali lagi maaf, ya, Gabe."

Zilva beranjak dari kursi dan menarik Levi untuk keluar dari ruangan itu. Ia benar-benar tak mengerti langkah apa yang selanjutnya harus ia lakukan. Kejadian yang datang tiba-tiba ini membuat kepalanya pening. Otaknya sudah tak mampu jika harus menampung masalah baru lagi.

♫~♥~♫

Dering dari ponsel membuat Zilva kaget. Dengan cepat ia mengambil ponsel yang ia simpan di tas punggung kecilnya. "Gabriel Setan Tampan" terpampang di layar. Ibu jarinya bergerak menggeser tombol hijau kemudian menempelkannya di telinga kanannya.

"Kenapa, Gabriel?"

"Gabriel yang telpon?" tanya Levi.

Zilva hanya menjawab dengan anggukan lemah.

"Zilva, kamu sakit? Kok suaranya lemes gitu?"

"Gabriel, sebelumnya kamu tahu gak, kalau Gabe sahabatmu itu punya penyakit jiwa semacam depresi gitu?"

"Gabe? Depresi? Gak mungkin. Dia itu bocah ceria yang banyak omong kayak cabe-cabean."

Alis Zilva menyatu bingung. Ternyata benar apa yang dikatakan orang-orang, bahwa orang dengan sifat yang paling ceria sebenarnya adalah orang yang kesepian. Hebat sekali laki-laki itu menutupi semua masalahnya dengan senyum dan celotehnya, pikir Zilva.

"Yakin, Sayang, kamu gak tahu?" tanya Zilva memastikan.

"Iya. Emang kenapa? Dia ditemukan gantung diri karena depresi, kah? Hahahaha."

"Gabriel, jangan main-main sama ucapanmu. Bagaimana bisa kamu nggak tahu kalau sahabatmu itu mengidap penyakit jiwa, sejenis depresi gitu? Sekarang dia di rumah sakit karena pingsan tadi, dan pemicunya adalah ... aku."

Gadis berisi itu menunduk lemah. Air mata dengan lancang kembali menetes di kedua pipinya. Tangannya dengan cepat mengusap air mata yang jatuh dan kembali memasang senyum tegar.

"Minum dulu."

Levi datang dan memberikan sebotol air mineral ke Zilva. Entah kapan laki-laki itu pergi membelinya.

Bibir Zilva mengucapkan terima kasih seraya tersenyum manis untuk menutupi kesedihan dan kelelahannya. Sedih karena kedua temannya harus mengalami semua kejadian ini. Lelah karena harus menghadapi masalah yang datang secara bertubi-tubi. Ia merasa hidup kembali setelah menenggak sebagian air.

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang