"Kamu harus jadi pacarku."
"Hah?"
HAH?!
Zilva terkejut bukan main. "Sebentar-sebentar. Kata-katamu barusan ada kata 'harus' loh. Apa jadi pacarmu itu sebuah keharusan buat aku?"
Gila, Gabriel. Nembaknya luar biasa. Cuma satu kalimat singkat. Dia memang gak normal.
"Iya, harus. Karena cuma ini satu-satunya cara supaya kamu terikat denganku. Ah, sebenarnya aku berniat menjadikanmu istri, tapi itu masih terlalu jauh untuk saat ini," jawabnya dengan raut datar.
Omong kosong apalagi ini, Tuhan?
"Padahal kita baru tiga kali ketemu dan belum benar-benar kenal satu sama lain, dan kamu tiba-tiba nembak aku," gumam Zilva.
Gabriel menatap Zilva. "Ketahuilah satu hal ini, Zilva, aku memiliki sifat ambisius. Kau tahu apa artinya itu, kan?"
Zilva memijat pelipisnya frustrasi. Ia terkejut bukan main dengan sikap Gabriel. "Aku mau tanya dulu. Kamu tahu nggak sih kenapa dari awal aku nerima ajakanmu keluar? Padahal kita gak kenal sama sekali sebelumnya?"
Bukannya menjawab, Gabriel malah membuang muka ke arah luar.
Zilva yang diacuhkan Gabriel, tetap melanjutkan ucapannya, "Karena meskipun kamu juteknya minta ampun, dingin banget, cuek, diajak ngobrol jawabnya singkat, kalau ngomong tanpa filter, dan meskipun kamu kek gitu kamu tetap aja ganteng." Zilva bercanda mengatakan hal itu, tapi semua memang benar adanya.
Gabriel tetap setia membungkam dengan pandangan yang terus menatap ke luar.
Gadis itu membuang napas pelan. "Enggak, bukan itu maksudku, Gabriel, aku bercanda. Dari awal aku nerima ajakanmu tanpa ragu karena aku bisa lihat kalau kamu baik dan gak ada niat buruk ke aku. Meskipun kamu dingin parah, aku gak bisa tersinggung ke kamu―kecuali satu pertanyaan punya pacar tadi.
"Yah, intinya ... mungkin saja kamu orang baik yang kesepian dan kamu berusaha untuk menutupi itu dengan sikap dingin seolah-olah kamu gak butuh orang lain. Dari pertama kita ketemu aku melihat itu, Gabriel. Meskipun wajahmu dingin tanpa ekspresi, tapi matamu tetap saja selalu terlihat sedih," lanjutnya.
Kamu ngomong apaan sih? Eh tapi bener juga, mata Gabriel selalu turun waktu natap dia.
Keheningan menyelimuti ruang kecil bianglala itu. Gabriel terlarut dengan pikirannya sendiri dan Zilva hanya bisa terdiam setelah mengucapkan itu semua.
Beberapa menit sebelum mereka turun dari bianglala Gabriel berkata, "Zilva, aku beri waktu. Tiga hari lagi aku jemput kamu. Kita pergi ke taman dekat sini dan beritahu aku jawabanmu saat itu. Aku hanya bisa janji satu hal ini ke kamu: aku akan jelasin semuanya jika kita sudah benar-benar nyaman satu sama lain."
Astaga, masa' cuma tiga hari doang? Ini masalah hati, Jainudin!
"Jika sudah nyaman satu sama lain? Bukan sebelum atau awal kita pacaran?"
"Karena meskipun kita pacaran, belum tentu aku dan kamu langsung nyaman dan terbuka."
Zilva hanya bisa menghela napas kasar. Ia sudah tak peduli lagi. "Tau' ah, Gabriel, aku pusing."
Urusan ini akan ia pikir nanti atau besok. Zilva benar-benar tak paham sosok asli Gabriel. Ia selalu yakin laki-laki itu memasang topeng tebal di wajahnya. Tapi siapa yang tahu jika itu memang diri Gabriel yang sebenarnya?
Mereka turun dari bianglala karena waktu yang diberikan telah usai. Zilva mengedarkan pandangan mencari makanan untuk melampiaskan kekesalannya.
Pedagang es krim dengan rombong serba pink berhasil membuat kakinya melangkah ke arah pedagang itu. Malam semakin dingin tapi tak membuat gadis itu mengurungkan niatnya memakan es krim.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend In My Dream
Teen FictionMIMPI. Semua orang menganggap apa yang ada di dunia mimpi tak akan terjadi di dunia nyata. Tapi sepertinya itu semua tak berlaku bagi Zilva. Gadis bertambun itu dikejutkan dengan kehadiran laki-laki yang mengaku sebagai pacarnya yang sebelumnya ia...