Zilva menggigit bibir bawahnya ketika mendengar nada tunggu teleponnya. Hingga akhirnya beberapa saat kemudian tergantikan oleh suara khas Gabriel.
"Kenapa, Zilva?"
"Aku ganggu kamu gak?" tanya Zilva ragu-ragu.
"Enggak, kok. Ada apa telepon aku?"
Zilva mengembuskan napas untuk menenangkan dirinya. "Gabriel, kamu lagi ada masalah, ya? Kalau iya, kamu boleh cerita ke aku kapan pun itu. Mungkin aku atau Kak Levi bisa bantu."
"Masalah? Enggak, kok. Emangnya kenapa? Lagipula kalau iya, itu bukan urusanmu, Zilva."
Zilva tersentak. "Ah, maaf kalau aku sok tahu dan ikut campur. Aku cuma pengen jadi orang yang bisa kamu andalkan saat kamu ada masalah, Gabriel."
"Nggak perlu, Zilva." Gabriel terdiam sesaat. "Kamu telepon cuma buat tanya itu aja?"
Gadis itu terdiam beberapa saat. "Ada satu yang mau kubilang. Sebesar apa pun masalahmu, jangan lampiasin ke aku, ya. Kamu boleh curhat ke aku, tapi jangan ketus apalagi bentak aku, ya. Tetap semangat, Sayang."
Telepon diputus sepihak oleh Gabriel. Tanpa aba-aba mata Zilva meneteskan butir air dengan deras. Gadis itu memeluk lutut seraya bergumam berkali-kali, "Kamu nggak berubah, kok. Kamu nggak berubah, kok. Kamu nggak berubah, kok."
"Kamu ngapain duduk di lantai gitu?"
Zilva menoleh dengan wajah sembabnya. "Hiks, Gabriel gak berubah kok. Dia cuma punya masalah yang gak bisa dia bagiin ke aku aja kok, Kak Levi."
"Hei." Levi bergegas menghampiri Zilva dan membantunya untuk berdiri kemudian duduk di ranjang. "Kali ini apa yang dilakuin Gabriel ke kamu?"
"Nggak apa-apa," jawabnya seraya mengusap wajahnya dengan kasar. "Kira-kira berapa bulan lagi Gabriel wisuda, Kak?"
"Perkiraan dua bulan lagi."
Zilva mengembuskan napas kasar dan beranjak dari ranjang, meninggalkan Levi yang mengernyit bingung.
Gadis itu membasuh wajahnya kemudian menghampiri Levi yang masih setia di kamarnya dengan raut yang sama. Ia mendekati laki-laki itu dan menepuk pundaknya. "Kak, bisa ajak aku keluar? Ke mall, atau kalau Kak Levi ada rapat, boleh aku ikut? Aku pengen keluar biar gak mikir si kampret itu."
"Kamu seminggu ini kan belum mau kerja, gimana kalau kita ke Jogja atau Bali? Ajak temenmu, kita nginep beberapa hari di hotel sana. Untuk hari ini kita ke mall dulu karena ada yang mau aku beli. Gimana?"
Mata Zilva berbinar senang ketika mendengar ajakan itu. "Aku mau ajak Ruth, Alex, Felix, Gabe sama adiknya Gabe boleh ya, Kak?"
"Kamu kenapa ajak si culun itu juga sih?" tanya Levi tak suka. "Terus adik Gabe juga masih kecil."
"Katanya aku boleh ajak temen?" Zilva mengerucutkan bibirnya. "Kalau urusan adik Gabe nanti aku tanya kakaknya dulu dia ngizinin atau enggak."
"Berarti ceweknya Ruth doang? Yakin kamu?"
"Hm ..., aku nggak terlalu deket sama temen cewekku yang lain. Takutnya mereka sibuk juga."
Levi beranjak dari duduknya seraya menjawab, "Terserah kamu aja, yang penting harus ada ceweknya."
"Huraaa ... sayang deh sama Kak Levi." Zilva berlari menyusul Levi dan memeluknya dari belakang.
Levi terpaku. Ia tersenyum tipis untuk menutupi rasa kagetnya. "Udah sana kamu siap-siap, kita pergi."
♫~♥~♫
Butir pasir pantai menyentuh lembut telapak kaki Zilva. Ia tersenyum menatap orang-orang yang sudah ia anggap keluarga sedang asyik berenang di pantai itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend In My Dream
Teen FictionMIMPI. Semua orang menganggap apa yang ada di dunia mimpi tak akan terjadi di dunia nyata. Tapi sepertinya itu semua tak berlaku bagi Zilva. Gadis bertambun itu dikejutkan dengan kehadiran laki-laki yang mengaku sebagai pacarnya yang sebelumnya ia...