34. Tiga Kotak Bekal

235 19 7
                                    

Pagi telah menyapa. Gadis bertubuh gendut itu bangun dari singgasananya dengan malas. Ia mendudukkan diri di kursi meja makan dan bersiap-siap untuk sarapan.

"Vania, aku baru sadar, kamu sekarang agak kurusan, ya? Kamu stress mikirin apaan, sih?"

Zilva melongo mendengar kalimat dari mamanya. "Aku? Kurusan? Bangun, Ma, mungkin Mama masih belum sadar sepenuhnya dari tidur."

"Mama serius, coba kamu timbang nanti. Wajahmu juga sedikit bersih putih. Ihir, anak perawan Mama sekarang jadi cantik."

Zilva menatap Laila dengan tatapan bingung. Ia mengedikkan bahunya dan beralih mengambil porsi makan untuknya. Matanya melirik ke arah jam dinding di depannya. Jam tujuh pagi. Ia sudah berjanji akan datang ke rumah sakit dulu sebelum kerja.

"Kamu makannya kok kayak kesetanan, sih? Pelan-pelan biar gak keselek." Laila memperingatkan ketika Zilva tiba-tiba makan dengan terburu-buru.

"Aku mau mampir ke rumah sakit lagi hari ini. Minta tolong bawain dua bungkus makanan, Ma, ya?" Zilva memasang wajah melas.

"Dua? Banyak banget. Kalau Ruth makannya sebanyak itu, mending satu aja nanti Mama banyakin porsinya."

Zilva gelisah. "Tapi, Ma, ini bener-bener buat dua orang yang berbeda."

"Buat siapa?"

"Gabe," jawab Zilva cepat.

"Gabe?" Kedua alis Laila mengernyit heran.

Zilva berkeringat dingin. Ia keceplosan. Semalam ia berniat untuk tidak menyebut nama itu agar Laila tidak mengungkit masa lalu. "Gabe ...? Riel! Iya, maksudku Gabriel!"

"Lah? Bukannya Gabriel lagi sekolah di luar kota? Kapan dia pulang? Perasaan belum setahun deh dia berangkat."

Zilva menelan ludah kasar. Gadis itu memang tak pandai berbohong apalagi di depan Laila. "Maksudku kakaknya Gabriel, Kak Levi, Ma."

Maaf Kak Levi aku bawa-bawa namamu, batinnya berteriak.

Laila menatap curiga Zilva. Beberapa detik kemudian ia mengangguk mengiyakan. Tangannya mulai menyiapkan tiga porsi nasi beserta lauk untuk dibawa Zilva ke rumah sakit.

Zilva beranjak dari duduknya dan bergegas menyiapkan diri untuk pergi. Setelah semuanya siap, ia menghampiri Laila untuk mengambil nasi yang ia minta.

"Ini bawa tiga porsi. Buat Ruth, Levi sama kamu." Laila menyerahkan tiga kotak makanan. "Karena kalau makan pakai bungkus nasi gak enak, Mama bawain pakai kotak bekal ini. Besok atau lusa kamu ambil, ya. Jangan sampai hilang."

Zilva tersenyum senang kemudian melompat memeluk Laila. "Makasih, Ma. Mama Laila memang yang terbaik."

Gadis gendut yang sekarang agak kurusan itu segera berangkat ke arah rumah sakit yang letaknya jauh dari rumahnya. Ia membutuhkan waktu sejam dengan kecepatan sedikit ngebut untuk bisa sampai dengan selamat di rumah sakit air mata.

Pagi hari adalah waktu di mana semua orang mulai melakukan aktivitasnya. Jalanan di pagi hari menjadi padat karena orang-orang yang memiliki tujuan berbeda itu memenuhi jalan yang dilalui Zilva. Tapi, ia sudah biasa melalui semua itu.

Sekitar jam sembilan pagi Zilva tiba di rumah sakit milik Levi dengan selamat. Tujuan pertamanya adalah ruangan pemilik rumah sakit itu, Levi. Ia mengetuk pintu pelan, menunggu jawaban dari dalam.

"Masuk." Suara Levi terdengar hingga pintu.

Zilva segera masuk dengan pelan-pelan dan bergumam pelan, "Permisi .... "

"Apa, sih? Masih pagi ada aja yang modus. Mau tanya apa? Tulisan dokter yang ada di resep gak jelas? Tanya ke dokternya, bukan ke aku. Kamu salah tanya, cepat keluar," oceh Levi dengan mata dan tangan yang tetap fokus ke laptop.

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang