Asap kebakaran itu semakin memenuhi ruangan. Ia merasa sesak napas. Matanya tak bisa melihat dengan jelas karena asap tersebut. Ia terbatuk-batuk dan berusaha untuk menutupi hidungnya dengan kain.
"RUMAHKU KOK BISA KEBAKARAN?!" pekik Laila yang baru saja tiba. "VANIA MANA?!"
"Rumah ibu terlihat sepi, saya pikir tidak ada orang." Salah satu tetangganya berusaha untuk menenangkan.
"TIDAK, VANIA MASIH DI DALAM! CEPAT, SIAPA PUN TOLONG DIA!"
Vania tidak bisa keluar dari kamar itu. Bocah itu mengedarkan pandangan dan menemukan ventilasi kecil di atas yang mungkin muat untuk tubuh kecilnya. Tapi sayangnya, ventilasi itu tidak bisa dibuka.
Dengan nekat, Vania melempar kursi belajar miliknya dan memecahkan kaca itu. Ia memanjat ke atas dan menerobos keluar dari kamar itu. Kakinya sedikit tergores pecahan kaca ventilasi yang membuatnya meringis perih.
Laila yang melihat anaknya keluar dari ventilasi, segera berlari tepat di bawah ventilasi agar ia bisa menangkap putri bungsunya.
"VANIA, LOMPAT AJA. PERCAYA SAMA MAMA, MAMA TANGKAP!" Laila menengadahkan tangannya, bersiap menangkap Vania. Air matanya mengalir deras ketika mengingat putrinya terjebak di dalam sendirian.
Vania lompat dan terjatuh di pelukan Laila. Pemadam kebakaran datang dan bergegas untuk memadamkan api. Setelah beberapa menit, bocah perempuan itu segera dibawa oleh ambulans.
"VANIA!" teriak Gabe kecil dari jauh. Ia menangis dan meronta ketika melihat keadaan Vania yang terluka. Ia tak bisa berlari mendekati Vania karena tubuhnya ditahan oleh Davina dan body guard-nya.
♫~♥~♫
"Aku terlambat menyelamatkanmu, Vania, maafkan aku. Aku mengetahui semua siksaan dan rencana kebakaran itu saat mendengar mama bicara dengan orang suruhannya. Tapi, kenapa aku baru tahu ketika semuanya sudah berjalan sesuai keinginan mama?! Selama ini aku selalu hidup dalam penyesalan. Aku juga nggak bisa bertemu denganmu untuk waktu yang lama. Ketika tangan mama memukulku, aku selalu teringat pelukan hangat darimu."
Kepala Zilva bagai ditimpuk puluhan batu besar. Semua cerita yang diceritakan Gabe terasa nyata, ia pikir itu hanyalah kisah drama yang pernah ia tonton sebelumnya. Pantas saja ia merasa tak asing ketika mendengar cerita itu.
Air matanya menetes lembut. Kepalanya terasa berat. Gadis itu susah payah untuk tetap duduk tegak. Mengapa ia bisa melupakan hal sepenting ini?
"Kenapa aku bisa melupakan semua ini?" gumamnya lirih.
Zilva yang awalnya duduk tenang di kursi, tiba-tiba terjatuh lemas di ubin dingin. Gabe yang kaget melihat Zilva yang ambruk segera memanggil perawat.
Laki-laki itu menyuruh untuk membaringkan Zilva di ranjang tepat di sebelahnya. Setidaknya ia bisa tenang mengawasi Zilva hingga gadis itu siuman.
Dua puluh menit telah berlalu. Gabe terus menatap mata yang tertutup itu dengan cemas. Hingga akhirnya kedua mata itu terbuka perlahan dan ia bernapas lega.
"Vania, masih pusing, gak?" tanya Gabe khawatir.
Zilva menoleh pelan. Air matanya menetes lagi, kali ini semakin deras. "Gabe, maafkan aku. Saat itu mama benar-benar marah dan khawatir aku akan terluka lagi, aku memohon untuk pindah rumah diam-diam agar mamaku tak melukai perasaanmu. Maafkan aku, bahkan untuk terakhir kalinya, aku tidak bisa pamit dengan benar. Aku tahu ini semua bukan kesalahanmu, jadi aku meminta mama untuk melupakan semua kejadian itu."
"Jadi, benar ini kamu ..., Vania?" tanya Gabe memastikan. Ia turun dari ranjang dan mendekati Zilva. Tangannya mengusap lembut kedua pipi Zilva.
"Iya, ini aku, Zilvania." Senyum haru terukir di bibir Zilva. "Maafkan aku yang telah melupakanmu, Gabe. Saat ini, aku tidak akan lagi melupakan setiap detik bersamamu."
Gabe tersenyum bahagia. Ia bisa bertemu lagi dengan penyelamatnya yang terpisah dengannya sepuluh tahun lalu.
"Gabe, sampai sekarang kamu masih tinggal bersama ibu tirimu itu?" tanya Zilva.
"Iya, aku masih tinggal bersama papa dan mama tiriku."
Zilva menoleh kaget. "Kenapa kamu gak pergi dari neraka itu?"
Gabe kembali mendudukkan diri di ranjang seraya membuang napas. "Adikku masih kecil, dia masih sekolah dasar. Aku masih butuh uang dari papa untuk kuliah dan sekolah adikku. Aku harus bertahan beberapa tahun lagi setidaknya sampai aku lulus kuliah kedokteran dan mendapatkan pekerjaan. Lalu bersama dengan adikku aku akan pergi dari mereka."
"Untungnya papamu masih memberi uang yang cukup ... ah tidak, itu memang kewajibannya sebagai ayah kandungmu. Tapi yang membuatku kesal adalah, kenapa papamu diam saja ketika melihat kamu dan adikmu disiksa oleh istrinya?!"
Gabe tersenyum kecut. "Karena papa tidak pernah peduli pada kami. Laki-laki workaholic itu hanya peduli dengan perusahaan dan uang. Dia menikahi ibu kandungku juga hanya karena pernikahan politik. Mamaku yang asalnya dari Perancis itu berkali-kali disiksa oleh papaku, bahkan aku melihatnya sendiri ketika aku masih kecil. Lalu pada saat melahirkan adikku, beliau meninggal karena pendarahan hebat. Baru seminggu sejak mamaku meninggal, papa menikahi mama Davina. Kukira wanita yang kusebut ibu tiri itu baik, ternyata nggak ada bedanya sama papa."
"Tapi apa kamu benar-benar nggak bisa melawan Tante Davina?"
"Berkali-kali kulawan. Tapi dia selalu mengancam akan membunuh adikku jika aku pergi dari rumah itu."
Zilva menghela napas pelan. Kepalanya masih sedikit pening karena banyaknya kejutan yang terjadi. "Jika Tante Davina membenci kalian, lantas apa yang membuatnya bersikeras menahan kalian untuk tetap tinggal?"
"Mama Davina mandul, dia nggak bisa punya anak. Antara aku dan adikku, salah satunya harus ada yang jadi penerus perusahaan papa. Itu adalah isi wasiat Mama kandungku yang dulunya memegang sebagian besar saham. Hal ini tidak bisa diubah bahkan oleh Papa sekali pun. Wasiat Mama itu bilang harus aku atau adikku yang meneruskan atau semuanya akan diserahkan ke pamanku."
Zilva menatap Gabe sedih. Ia merasa hatinya tercubit perih ketika mendengar kisah haru tentang keluarga Gabe. Ia sungguh beruntung masih bisa merasakan kasih sayang dari papanya, walaupun dua tahun yang lalu meninggal karena penyakit gagal ginjal yang dideritanya.
Gadis itu bangkit dan duduk dengan tubuh bersandar. Bibirnya tersenyum hangat menenangkan.
Gabe berdeham seraya bertanya, "Omong-omong kenapa gak ada yang panggil kamu Vania selain aku dan keluargamu?"
"Sejak SMP aku gak nyaman dipanggil nama itu, selain keluargaku tentunya. Aku merasa antara sedih dan marah ketika dipanggil Vania. Mungkin karena aku trauma dengan kejadian Tante Davina, hehe." Zilva menggaruk kulit kepalanya yang tak gatal. "Eh, tapi anehnya ketika kamu panggil aku Vania, aku biasa aja."
Gabe tersenyum.
Zilva melirik ke arah jam dinding di depannya. Jam enam malam, ia bangkit dari ranjang dan berniat untuk pulang.
"Enggak, Vania. Setidaknya kamu bermalam di sini semalam aja. Takutnya pusing itu balik lagi waktu kamu nyetir. Bahaya."
Zilva menggeleng keras. "Enggak, aku gak mau buat mama dan Kak Christ khawatir denger aku tiba-tiba opname di rumah sakit."
"Tap―"
"Aku akan hati-hati dan gak ngebut, aku janji."
Zilva bersiap-siap kemudian mengambil jaket dan memakainya. Saat di pintu keluar kamar, Gabe memanggilnya dan gadis itu menoleh cepat.
"Besok bisa ke sini lagi gak? Adikku besok datang."
Bibir gadis itu tersenyum manis. "Aku besok masuk siang. Tapi tetap kuusahain buat dateng."
🍃🍃🍃
Bersambung :)
Vote dan komen? ❤Maap ya kemaren aku lupa update 😭
Gimana tentang masa lalu Vania dan Gabe?
Update selanjutnya balik seminggu sekali ya 🐾 makasih yang udah baca dan tinggalin jejak ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend In My Dream
Fiksi RemajaMIMPI. Semua orang menganggap apa yang ada di dunia mimpi tak akan terjadi di dunia nyata. Tapi sepertinya itu semua tak berlaku bagi Zilva. Gadis bertambun itu dikejutkan dengan kehadiran laki-laki yang mengaku sebagai pacarnya yang sebelumnya ia...