38. Masa Lalu Alex

105 11 1
                                    

Kamu merusak hidup monotonku tanpa tanggung jawab. Tapi ternyata perbuatanmu ini tidak buruk juga.

-Levi  ⛄

♫~♥~♫

Alex mendudukkan diri di bangku taman. Begitu juga dengan Zilva yang masih asyik dengan es krim di tangannya.

"Jadi? Masih siapin mental?" tanya Zilva menggodanya.

Alex berdeham sebelum memulai. Menarik napas kemudian mengembuskannya kembali. "Kamu sudah siap?"

"Lah kok tanya aku?" Zilva menoleh. "Kamu sendiri sudah siap belum? Kalau belum, ya sudah siapin sampai benar-benar siap. Tapi, jangan harap bisa bicara sama aku selama belum cerita."

Alex gelagapan mendengar itu. "Oke-oke aku cerita sekarang."

Zilva dengan cepat menghabiskan es krim di tangannya agar bisa fokus mendengar curahan hati Alex.

"Saat itu pertengahan semester dua kelas tujuh SMP. Di sekolah, nggak ada yang mau temenan sama aku karena aku pendiam, tertutup dan pemalu."

"Pemalu? Pft―" Zilva berusaha untuk tidak terbahak ketika mendengar satu fakta itu. "Kamu mah gak punya malu kalau di depan kita, Lex. Oke, lanjutin."

"Di kelasku ada satu cewek dengan kepribadian yang berbanding terbalik denganku. Dia cantik, supel, ramah dan populer, dia gadis sempurna. Aku nggak tahu kenapa, dia tiba-tiba deketin aku dan kita jadi akrab. Katanya dia tulus temenan sama aku."

"Terus kalian pacaran, ngumpulin kenangan dan putus, begitu? Wow, dah kek cerita di novel, yak. Cowok culun pacaran sama cewek populer. Klise sekali," tebaknya asal.

"Ini bukan cerita romance." Alex memutar bola matanya malas. "Suatu hari, dia minta main ke rumahku, oke aku turuti satu keinginan dia itu. Aku heran kenapa cewek itu kaget bukan main, padahal di rumahku nggak ada harimau atau hewan buas lainnya."

Zilva menegakkan punggungnya. "Pasti kaget sih lihat rumah sebesar dan sebagus itu. Aku kemarin masuk rumahmu rasanya kek mau pingsan. Ah, untungnya dulu aku sering main ke rumah Gabe, jadi pas lihat rumahmu gak sampai pingsan sih, hehe." Tangannya mengibas di udara. "Oke, lanjutkan."

"Setelah hari itu, dia sering curhat ke aku ketika ingin beli benda yang harganya mahal tapi gak ada uang. Karena aku pengen jadi temen yang baik, aku beliin semua barang-barang yang pengen dibeli sama dia. Bahkan aku sempet dimarahi Papa karena aku gunain uang terlalu banyak."

Zilva mengusap dagunya. Kemudian merapikan rambut yang jatuh di wajahnya. "Wah, enak banget jadi temen kamu. Apa pun dibeliin. Aku juga mau, dong." Gadis itu menepuk bahu Alex. "Bercanda, Lex."

Alex mengembuskan napas seraya tersenyum tipis. "Persahabatanku dengan gadis itu berlangsung selama dua tahun lebih. Seminggu sebelum wisuda kelulusan SMP, aku dengar dia sama teman-temannya gosipin aku di kelas."

"Dia ngomongin kamu?" tanya Zilva penasaran.

Alex mengangguk beberapa kali. "Di situ aku tahu kalau dia dari awal gak pernah tulus temenan sama aku. Ternyata, awalnya dia hanya ingin memastikan, apa benar keluargaku kaya seperti yang digosipkan. Jika benar, dia ingin memerasku dengan kata 'teman' sebagai alasan. Dan itu benar terjadi. Padahal, aku dengar kondisi keluarganya berada dan tidak ada masalah. Sejak itu aku benar-benar trauma dan muak dengan yang namanya pertemanan."

"Ah ..., aku paham. Ternyata cewek itu munafik, ya. Jadi singkatnya, kamu gak mau cerita ke kita karena kamu trauma, dan kamu takut kejadian itu juga terjadi lagi. Maksudnya terjadi lagi tuh, aku atau Ruth meras kamu dengan minta barang-barang mahal, 'kan?"

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang