28. Ruth yang Malang

295 23 2
                                    

"Serius Kak Levi gak tau letak kamar inap di rumah sakit ini?!" pekik Zilva kaget.

Beberapa menit yang lalu Zilva mendapat pesan bahwa Ruth di rawat di kamar Kamboja 1. Gadis itu bertanya pada laki-laki yang mengantarnya pagi ini, namun jawabannya benar-benar di luar dugaan Zilva.

Bagaimana bisa sosok gagah nan tampan yang katanya pemilik rumah sakit megah ini tidak tahu letak ruang rawat inap rumah sakitnya sendiri? Zilva benar-benar tak habis pikir.

"Itu bukan ruang yang penting. Yang utama adalah ruanganku, toilet dan kantin, itu saja," ucapnya santai.

Zilva ternganga mendengar jawaban itu. "Luar biasa Kak Levi! Bagaimana bisa kau kerja selama ini dengan monoton seperti itu?" Zilva mendesah pelan. "Rumah sakit ini benar-benar luas, aku ingin mengelilingi bangunan ini nanti."

"Ya, terserahmu."

Zilva mengedarkan pandangan, berusaha untuk mencari papan sebagai petunjuk untuk mencari letak kamar inap. Setelah beberapa detik, mulutnya mendecih pelan, merasa kesal karena tak menemukan petunjuk apa pun.

"Kak! Ini rumah sakit gak ada denahnya? Parah ini orang." Zilva memijat pelan pelipisnya. "Aku hanya saran ya, Kak, tolong kasih denah, tulisan arah atau apa pun itu namanya di lobi rumah sakit ini. Orang introvert pasti langsung pulang karena gak mau tanya orang lain."

Levi menoleh tak suka. "Salah sendiri jadi introvert. Kalau punya mulut, tanya ke orang lain." Laki-laki itu kemudian mendesah berat. "Lagipula bukannya kamu pernah magang di rumah sakit ini? Pasti kamu sudah tahu tempat ini, 'kan?"

"Mending introvert, kalau bisu, gimana? Di rumah sakit ini yang kutahu hanya ruangku magang alias tempat obat dan juga kantin, itu saja." Zilva geram. "Ah, kenapa malah ributin ini, sih?! Oh? Aku tanya kakak senior aku dulu tuh!"

Zilva memanggil pelan seorang perempuan yang dulu menjadi seniornya saat ia magang di sana. Perempuan cantik yang dipanggilnya menoleh dan tersenyum melihat Zilva.

"Kak, mau tanya. Kamar inap kamboja nomor satu dimana ya, Kak?"

Tangan perempuan itu terangkat dan menunjuk tangga yang berada di depan mereka yang menuju ke lantai dua. "Kamu naik ke atas, belok kiri, lorong kedua belok kanan terus cari di daerah situ. Kalau nggak salah, kamboja di daerah itu."

Zilva menepuk bahu seniornya dengan pelan. "Makasih banyak, Kak!" Ia menoleh ke Levi. "Ayo!"

"Loh, Zilva? Kamu kok bisa seakrab itu sama Pak Levi? Zilva!" panggil seniornya yang hanya dijawab senyuman manis oleh Zilva.

"Anda boleh kembali ke ruangan khusus milik Anda. Saya bisa jalan sendiri ke ruangan Ruth. Silahkan," ucap Zilva pada Levi. Tangannya terangkat mempersilakan.

Zilva tak berniat mengusir. Gadis itu merasa tak enak karena Levi membuang waktu berharganya hanya untuk menemaninya. Ia sangat paham bahwa Levi adalah orang yang super sibuk, bahkan setiap detiknya sangat berharga.

"Enggak, aku mau ikut. Kamu gak ada alasan buat ngelarang aku berada di rumah sakit ini."

Zilva menoleh dan memasang wajah datar. Mengembuskan napas pasrah kemudian kembali melangkah mencari kamar inap yang berisi sahabatnya.

Lorong rumah sakit terdengar sunyi, hanya suara langkah kaki beriringan mereka yang terdengar. Tidak, bukan suram. Kebetulan saja lorong-lorong kamar itu tidak banyak pasiennya.

Mata gadis berwajah bulat itu menangkap papan bertuliskan nama ruang yang disebutkan Ruth pagi tadi. Dengan cepat ia berlari dan membuka pintu dengan kasar.

"Ruth!" teriaknya panik.

"Biasa aja dong, aelah." Ruth melempar bantalnya dan tepat mengenai wajah Zilva. Gadis imut itu terbahak. "Ambil bantalnya dulu baru mendekat ke sini!"

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang