51. Kakak yang Tangguh (3)

103 14 0
                                    

Meskipun Kak Levi dingin, tapi tetep aja tuh sifat ditoleransi karena good looking.

-Zilva 🐽

♫~♥~♫

"Dulu pernah ada cewek yang obsesi banget sama aku."

Zilva tersentak. "Apa?!"

"Iya. Awalnya dia cuma pembeli di toko alat tulisku. Waktu itu kebetulan aku yang jaga. Karena aku yang jadi karyawan, otomatis aku harus ramah ke semua pelanggan. Dan keramahanku dia anggap sebagai rasa suka. Sejak itu dia setiap hari duduk di bangku depan toko sambil lihatin aku sampai aku pulang."

Gadis di depannya merinding seketika. "Parah banget sampai segitunya."

"Hm. Lebih parahnya lagi dia sempat mau tusuk aku saat pulang kerja."

"Lah? Kalau misal dia suka sama Kak Levi, dia gak akan tega gores tubuh Kak Levi sedikitpun."

"Awalnya aku juga heran kenapa dia berani ngelakuin itu. Hampir aja aku ditusuk waktu itu. Saat dia mau tusuk aku, aku tahan tangannya yang pegang pisau dan tanya kenapa dia nekat."

"Terus dia jawab apa?" tanya Zilva yang semakin penasaran bercampur ngeri.

"Aku masih ingat dia jawab gini: 'karena cuma Kakak yang baik ke aku. Semua orang benci aku karena aku anak diluar nikah. Wajah Kakak yang rupawan ini juga yang buat aku tambah suka ke Kakak. Aku tahu Kakak gak mau sama aku, jadi aku berencana untuk mengawetkan tubuh dan wajah Kakak yang rupawan ini agar tetap indah dan akan jadi milikku selamanya. Karena Kakak adalah orang pertama yang memperlakukanku hangat, hehe.'"

"ASTAGA, DIA UDAH GILA! GANGGUAN JIWA ITU CEWEK!" teriak Zilva heboh. "Mana ada 'hehe'-nya pula!"

"Perutku sempat tergores pisaunya―ada bekasnya sampai sekarang. Tapi untungnya aku berhasil lari dan sembunyi. Lalu aku lapor polisi dan dia ditangkap." Levi melipat tangannya di dada. "Ah, sebelum aku lari, aku bilang ke dia: 'kamu nggak butuh cinta dariku. Karena tanpa wajah dan tubuhku pun, kamu masih bisa hidup bahagia. Kamu hanya cukup bersikap baik ke orang lain, maka orang sekitarmu akan memperlakukan hal yang sama juga. Jadi jangan lakuin hal kayak gini lagi, ya.' Dia nangis setelah aku bilang gitu. Aku rasa kehidupannya sangat sulit."

"Ya ampun, bener-bener tuh cewek ya. Meskipun dia haus kasih sayang, tapi harusnya logika dia juga main. Apes banget Kak Levi bisa ketemu sama psychopath kek dia." Zilva memasang wajah sedih. "Ah itu artinya ... Kak Levi menolak untuk ramah ke cewek karena takut merekanya salah paham, begitu?"

Bibir Levi melengkung membentuk sebuah senyuman manis. Tangannya terulur mengusap rambut Zilva. "Kamu memang cepat tanggap."

"Waktu pertama kali ketemu sama Kak Levi memang serem banget sih. Aku takut setengah mati." Zilva mengangguk-anggukan kepalanya ketika mengingat awal pertemuan mereka. "Tapi aku heran sama cewek-cewek di rumah sakit dulu. Bukannya takut, mereka malah suka sama sikap Kak Levi yang dingin. Mungkin karena Kak Levi ganteng kali ya, jadi ditoleransi tuh sifat. Ck ck ck .... "

Levi terkekeh mendengar ucapan Zilva. "Aku sudah lama gak ngobrol santai panjang lebar selain bisnis kayak gini. Makasih, Zilva." Ia mengusap gemas rambut gadis itu hingga sedikit berantakan.

Tak lama kemudian bawahan Levi datang menghampiri mereka. "Maaf Pak, kolega Bapak sudah datang. Beliau ada di lantai bawah."

Levi mengangguk seraya beranjak dari duduknya. "Kamu mau ikut ke bawah juga gak?"

"Enggak deh. Aku masih belum puas lihat-lihat."

Levi mengangguk paham. Ia berbalik berjalan meninggalkan Zilva.

"Eh Kak, kurang satu pertanyaannya!" teriak Zilva yang membuat langkah Levi terhenti, "toko alat tulis Kak Levi namanya apa?"

Levi membalikkan badannya lalu tersenyum. "Toko alat tulis Putih Abu-Abu. Kalau kamu tanya alasan pembuatan namanya, itu karena toko yang aku bangun waktu SMA." Laki-laki itu melanjutkan perjalanannya.

"Putih abu-abu?" gumamnya. "Apa?! Putih abu-abu katanya?!"

"Jangan-jangan toko putih abu-abu yang sudah punya penerbit sendiri itu? Dan yang sudah punya beberapa cabang itu?!"

"Abang Levi setajir apa coba?!" Ia mengelengkan kepalanya.

Zilva beranjak dan kembali berjalan mengelilingi pabrik itu. Entah kenapa ia senang berada di pabrik dan melihat alat-alat serta pekerja yang sedang bekerja membuat sepatu.

Setelah beberapa meter, Zilva tiba di ruangan yang letaknya sedikit jauh dari kerumunan para pekerja. Ia penasaran dan berdiri di dekat pintu sebuah ruangan. Ternyata itu adalah ruangan pusat listrik pabrik.

Ia hanya mengangkat bahunya acuh dan hendak meninggalkan ruangan itu. Namun tak lama Zilva mendengar ledakan di dalam ruangan.

🍃🍃🍃

Bersambung :)
Vote dan komen? ❤

Apa tuh yang meledak?

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang