"Vania, kenalin ini―"
"Dia adikmu?" sela Zilva cepat.
Gabe mengangguk cepat dengan senyum yang tak hilang dari bibirnya. Bocah yang disebut adik oleh Gabe menoleh perlahan dan memperlihatkan wajahnya yang imut.
Serangan jantung mendadak menimpa Zilva saat ini. Ia terpesona dengan wajah tampan dan imut adik Gabe. Kulitnya yang cerah, rambut blonde, alis yang tebal, mata lebar yang sebening air itu sungguh membuat Zilva terharu karena keindahannya yang sempurna.
"Ini benar kamu yang dulu bayi itu?" Zilva mendekat dan menatap bocah itu dengan kagum. "Astaga ganteng banget anak orang! Kamu setiap hari dikasih makan apa sama kakakmu?"
Bocah imut itu memiringkan kepalanya polos. "Nasi?"
Zilva mencubit kedua pipi bocah itu gemas. "Ih ... kamu kok bisa seimut ini, sih?" Gadis itu segera melepaskan cubitannya ketika bocah itu mengaduh kesakitan.
"Vania, kenalin, ini adikku yang sekarang berumur sepuluh tahun. Namanya Michael Cyrus Philemon, aku biasa panggil dia Cyrus, kamu bisa panggil dia sesukamu."
"Oho ... namanya bagus banget. Aku panggil kamu ... Phili!"
"Phili?" tanya serempak kedua laki-laki di depannya.
"Iya, Phili. Philemon, aku ambil depannya aja dan kutambahi 'i' biar imut, hahaha." Zilva mendudukkan dirinya di kursi yang lain. "Aku bawa makanan dari mama dan aku beliin minum juga tadi di kantin. Tapi aku lupa kalau adikmu datang ke sini."
"Gak apa-apa kita makan berdua. Terima kasih banyak, Vania."
Zilva menyerahkan kotak makan dan minuman itu ke Gabe dan laki-laki itu menerimanya dengan senang.
"Vania, kamu ingat saat di Taman Cinta? Kamu nemu buket bunga?"
Zilva mencoba untuk mengingat kejadian yang dimaksud Gabe. Rautnya serius hanya untuk sekadar mengingat kejadian itu. Beberapa saat kemudian wajahnya tersirat ketakutan.
"Ke―kenapa kamu bisa tahu kejadian itu? Cuma Gabriel yang tahu kejadian di Taman Cinta itu."
Gabe mengembus napasnya pelan. Ia memutuskan untuk tidak menyembunyikan apa pun lagi dari Zilva. "Aku ada di sana."
"Tapi, aku gak lihat kamu di mana pun."
"Begini, Vania, yang melempar buket bunga dengan mp3 player di dalamnya itu aku. Awalnya aku lihat Gabriel bicara sama perempuan, awalnya aku gak tahu kalau itu kamu. Saat aku lihat lagi, perempuan itu mirip banget sama Vania yang kukenal dulu. Tapi Gabriel manggil kamu Zilva, jadi aku sempat ragu. Lalu aku ingat kalau namamu adalah Zilvania. Waktu itu aku berniat nyapa dan tanya langsung, tapi sifat pengecutku muncul. Lalu aku beli buket dan mp3 player lalu melemparkannya. Aku sedih ketika kamu ketakutan seperti itu, Vania. Aku sedih karena kamu gak bisa ngenalin suaraku. Lalu saat kamu beli es kelapa muda, disitu ketakutanku aku tekan dan menemuimu secara langsung."
"Sebentar-sebentar. Itu adalah kejadian dua atau tiga tahun yang lalu, sedangkan terakhir kita ketemu sebelum itu sepuluh tahun yang lalu. Ya jelas dong aku gak ngenalin suaramu!" geram Zilva, "waktu kecil suaramu masih imut, tapi waktu itu suaramu bariton! Siapa yang gak kaget, coba?!"
Gabe menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Iya juga ya. Maafkan aku yang dulu kekanakan."
"Hah ... lupakan saja kejadian itu. Yang penting sekarang aku gak ngelupain kamu lagi. Aku juga minta maaf lupain kamu dan buat kamu sedih kek gitu."
Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Cyrus yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam menatap Zilva dengan ekspresi tanya. Ia benar-benar tak mengenal Zilva sebelumnya.
"Kak, aku lapar," rengek Cyrus tiba-tiba.
"Kamu makan makanan yang dibawa Kak Vania aja, nanti Kakak beli di kantin." Gabe mengambil kotak makan berwarna kuning cerah itu dan membukanya. "Kesukaanmu, Cyrus. Nasi goreng."
Cyrus memakannya dengan lahap dan juga senyum terukir di bibir mungilnya. Bocah itu menikmati tiap sendok nasi goreng itu.
"Kalau gitu aku beliin makan dulu di kantin. Ada larangan makan gak dari dokter?" tanya Zilva yang sudah beranjak bersiap untuk keluar.
"Gak ada kok. Eh, tapi gak usah dibeliin, nanti aku beli sendiri."
Terlambat. Zilva yang keras kepala tetap memaksakan diri untuk membeli makanan untuk Gabe. Gadis itu berjalan dengan santai ke arah kantin. Ia membeli semangkok soto ayam untuk Gabe dan satu nasi bungkus untuk ia makan saat di tempat kerja.
"Bu, beli seporsi soto ayam gak pedes. Mangkoknya saya bawa ke kamar inap gak apa-apa kan ya, Bu?"
Ibu penjual soto ayam itu mengangguk mengiyakan. Sambil menunggu soto ayam yang dipesannya selesai, Zilva pergi ke warung nasi bungkus yang letaknya tak jauh dari situ. Ia membeli sebungkus nasi untuk ia makan siang nanti.
Setelah selesai membeli semua makanan yang dibutuhkan, Zilva kembali berjalan ke kamar Gabe. Ia berjalan dengan perlahan karena nasi soto ayam yang memenuhi mangkok dan kuahnya sedikit panas.
"Sampai kapan kamu di sini? Kamu mau buang-buang uang dengan opname berhari-hari di sini? Setidaknya kamu tahu diri, Gabe!"
"Saya sudah bilang, saya akan pulang kalau saya sudah benar-benar pulih. Jika adikku merepotkan, biarkan dia di sini bersama saya."
Zilva memasuki kamar Gabe dengan perlahan. Matanya melebar karena terkejut. Ia melihat sosok yang sangat ingin ia hindari seumur hidup berdiri di dekat Gabe.
"Zilva, makasih ya sudah repot-repot beliin makan." Gabe melirik memberi pertanda untuk tetap tenang. "Perkenalkan, ini Mamaku, namanya Davina. Kamu bisa panggil Tante Davina."
Ah, jadi ini alasan Gabe kembali memanggilku Zilva? Dia gak mau kalau sampai Tante Davina tahu aku Vania, batinnya. Ia menaruh semangkok soto ayam itu dan mencium punggung tangan Davina. "Halo, Tante, senang betemu dengan Tante. Nama saya Zilva, teman Gabe."
"Zilva ...? Kamu mirip banget sama bocah sialan yang kukenal dulu, tapi dia gak segendut kamu, sih." Davina menatap curiga ke arah Zilva.
Gadis gendut di hadapannya hanya bisa menelan ludah kasar. Ia takut luka yang ia alami dulu terjadi lagi saat ini. Ia berpikir keras untuk mencari alibi yang tepat. Matanya melirik ke jam arloji yang melingkar di lengannya.
"Ah, sudah jam setengah satu, saya harus kerja dulu. Saya permisi dulu, Tante Davina."
Zilva dengan cepat mengemasi semua barangnya dan pergi meninggalkan ruangan yang penuh dengan aura menyeramkan karena Davina itu. Ia mengembuskan napas lega karena ia bisa melarikan diri dengan natural.
Ia berlari kecil ke parkiran dan pergi ke tempat ia kerja. Otaknya masih saja memikirkan kekhawatiran yang akan menimpanya jika berurusan dengan Davina lagi.
🍃🍃🍃
Bersambung :)
Vote dan komen? ❤Cowok-cowok yang deket sama Zilva DNA-nya bagus semua yak :')
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend In My Dream
Ficção AdolescenteMIMPI. Semua orang menganggap apa yang ada di dunia mimpi tak akan terjadi di dunia nyata. Tapi sepertinya itu semua tak berlaku bagi Zilva. Gadis bertambun itu dikejutkan dengan kehadiran laki-laki yang mengaku sebagai pacarnya yang sebelumnya ia...