63. Mantan Pacar Levi

59 8 2
                                    

“Hah? Mantan apaan?”

“Mantan presiden! Ya mantan pacar lah, Kak Levi.”

Levi menoleh ke arah pedagang yang dimaksud Zilva. Ia spontan menyipitkan mata agar bisa melihat lebih jelas.

“Mantanku cuma satu dan bukan dia. Setahu aku, mantanku itu masih di Perancis. Jadi gak mungkin tiba-tiba dia ada di sini.”

Zilva tidak terkejut mendengar hal itu. Zilva sudah menduga sebelumnya bahwa sosok yang berpacaran dengan Levi sudah pasti orang yang luar biasa.

“Eh, bentar. Kak Levi yang ganteng dan luar biasa ini cuma punya satu mantan? Serius, sumpah?”

Levi mengangguk pasti. “Iya, cuma satu tapi bikin aku trauma sampai sekarang.”

Zilva mengedipkan matanya polos. “Trauma?”

“Hm. Tapi ... traumanya gak separah kamu, Zilva. Oh? Aku belum cerita?”

“Belum. Kak Levi cuma cerita tentang stalker di toko putih abu-abu doang.”

“Harus banget aku cerita?” tanyanya seraya menyendok es teler milik Zilva karena minumannya sudah terkontaminasi oleh ponsel.

Zilva menimang-nimang. “Gak harus, sih. Terserah Kak Levi mau cerita apa nggak, aku gak maksa.”

Levi tersenyum. Tangannya mengusap kepala Zilva dengan gemas. Entah kenapa ia selalu senang menyentuh rambut lembut gadis itu. “Iya, deh aku cerita.”

Zilva duduk dengan nyaman dan sesekali menyendok es teler. “Yuk, aku dengerin.”

“Dulu, aku pacaran sama dia dari SMP sampai SMA. Lumayan lama sekitar dua tahun. Awal biasa aja, tapi ketika masuk SMA, tiba-tiba dia menuntut segalanya. Terutama waktu aku lagi ribet cari uang. Dia ribet pengen kencan lah, nemenin shopping lah, main ke rumahnya lah. Padahal udah kujelasin kalau keluargaku sedang gak baik-baik aja, tapi dia gak peduli. Terus gak lama aku ngelihat dia jalan sama kakak kelas. Satu dua kali aku masih mikir positif, tapi aku biarin malah gak tau diri.”

“Selingkuh?”

Levi mengangguk. “Gak cuma itu. Dia pernah nipu aku. Dia bilang dia butuh uang buat beli HP baru. HP yang dia bilang rusak itu baru sebulan beli dan dia takut kalau mau minta uang ke papanya lagi.”

“Terus?”

“Hah ... dia bohong. Aku lupa dulu aku kasih dia berapa juta, tapi duit itu malah dia buat main ke Bali sama kakak kelas sialan itu.”

Zilva membelalakkan matanya kaget. “Parah banget.”

“Ada satu hal lagi yang buat aku makin benci sama dia, Zilva.”

“Apa itu?” tanyanya dengan tangan tetap menyendokkan es teler ke dalam mulutnya.

“Setelah beberapa bulan dia dari Bali, dia ngaku kalau hamil. Dengan gak tau dirinya, dia malah minta aku yang tanggung jawab anak itu. Dasar j*lang.”

Zilva tersedak es teler karena mendengar ucapan Levi. “Uhuk ... uhuk ... kampret banget cewek itu.”

Levi menepuk pelan punggung Zilva agar gadis itu kembali tenang. “Minumnya pelan-pelan aja.”

“Terus? Kak Levi gak terima dia, kan?”

“Mana sudi, Zilva. Aku gak sebaik itu. Bukan aku yang berbuat, kenapa juga aku harus bertanggung jawab? Akhirnya aku putusin dia dan dia pindah ke Perancis sampai sekarang.”

Zilva teringat sesuatu. “Ah ... pantes ya, Kak Levi. Dulu Kak Levi bener-bener curiga banget sama aku. Takut kalau aku pacaran sama Gabriel karena cuma ngincer harta kalian.”

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang