4. Tragedi Bakso Neraka

1K 77 8
                                    

Tak apa jika kau melakukan kesalahan, aku tak akan pernah bosan untuk mengingatkan.

-Gabriel 👑

♫~♥~♫

Matahari terbit dari timur hingga menghasilkan sebuah fajar yang menenangkan hati dan kembali ke barat hingga menghasilkan senja yang memikat. Terus seperti itu, hingga sepekan telah berlalu semenjak kedua insan itu bertemu.

Zilva yang merasa dipermainkan oleh takdir hidupnya mulai berpikir, "Apa sudah waktunya aku bangun dari mimpi indah yang baru aku alami sekali dalam hidupku?"

Munafik jika ia menolak kehadiran lelaki yang berhasil menembus dinding tipis miliknya. Dalam sekali pertemuan, Gabriel berhasil membuat pikiran gadis itu penuh dengan wajah tampannya.

Dan apa ini? Sekarang aku malah terngiang suara motor kerennya, batinnya saat mendengar suara motor Gabriel yang tak bisa ia lupakan dengan mudah. Ia berlari kecil dan mendapati Gabriel yang menampilkan senyum hangat.

"Kok, kamu kesini?"

Gabriel turun dari motornya dan memasuki rumah Zilva. Laki-laki itu mengucapkan salam dan mencium tangan kedua orang tua Zilva, lalu ia duduk di sofa dengan tenang. Zilva yang merasa diacuhkan, hanya bisa menghembuskan napasnya kasar. Ia berjalan dengan langkah besar dan duduk di sofa empuk itu dengan kasar.

"Betewe, pertanyaanku belum dijawab." Zilva berdeham dan Gabriel menatapnya dengan tatapan heran. "Ngapain liat aku sampai kek gitu?"

"Enggak, aku cuma heran aja. Masa' pacarnya sendiri gak boleh main ke rumah pacarnya?" ucapnya dengan santai dan tersenyum manis.

Zilva hanya menggeram pelan dan menyibukkan dirinya dengan ponsel miliknya. Hingga tak lama telinganya mendengar sebuah panggilan dimana perutnya berteriak bahagia. Pedagang bakso langganannya memanggil dirinya dan Zilva pun berteriak mengiyakan. Ia berlari ke arah dapur bermaksud untuk mengambil mangkok. Dengan tergesa-gesa ia berlari ke luar untuk memesan seporsi bakso ekstra pedas. Sang kekasih hanya menggelengkan kepalanya saat melihat Zilva.

Dengan tiba-tiba gadis bertubuh besar itu menghentikan langkahnya. Gabriel yang melihatnya, menaikkan sebelah alisnya dan menatap Zilva dengan tatapan heran.

"Astaga, sampai lupa kalau ada manusia disini. Kamu mau? Itu bakso daging sapi, kok. Bukan daging manusia, dan yang pasti, rasanya mantap." Zilva mengacungkan jempolnya namun raut wajahnya datar.

"Aku mau satu. Keluargamu kalau mau, pesen aja. Aku yang bayar semua," ucapnya dengan senyuman manis yang tak pernah terlupa saat memandang wajah buluk sang kekasih.

Zilva memutar mata jengah. "Mulai, deh. Sifat sultannya muncul, tuh."
Christ yang tak berniat untuk membeli bakso karena uang gajinya yang semakin menipis, mendengar kata "ditraktir", ia bangkit dari posisi rebahannya dan berlari keluar memesan bakso paket spesial.

"Ma, Pa! Gak beli bakso? Dibeliin adek ipar, nih," teriaknya memanggil kedua orang tuanya.

Zilva yang melihat kelakuan kakak laki-lakinya itu segera memukul kepalanya hingga membuat sang kakak meringis kesakitan. "Duh ngapain pakai mukul-mukul segala, sih?!"

"Apa Kak Christ gak malu? Aku baru kenal dia seminggu, loh. Gak enak dong, ditraktir sama Gabriel yang notabene masih orang asing?" bisik Zilva saat mereka menunggu pesanan bakso mereka di luar.

"Apa?! Kamu sampai sekarang belum percaya sama Gabriel? Jahat banget kamu, Vania." Christ sengaja berteriak agar ucapannya didengar Gabriel.

Gadis itu segera membungkam mulut kakak lelakinya itu. Untung saja ia memiliki satu kakak, satu manusia seperti Christ sudah berhasil membuat Zilva kewalahan karena sikapnya yang terlalu menyebalkan, apalagi jika memiliki lebih dari satu, bisa-bisa kepalanya pecah karena penuh dengan sumpah serapah yang ditujukkan untuk manusia kloningan kakaknya.

Gabriel yang mendengar teriakan Christ dengan segera ia menemui sumber teriakan dan mendapati sepasang saudara tengah asyik bertengkar dan berdebat. Lalu ia memutuskan untuk menghampiri mereka.

"Udah-udah, gak usah bertengkar, gak usah ngrebutin aku," ucapnya sambil melerai kedua manusia bersaudara berbeda kelamin itu.

Zilva dan Christ melepas tangannya dari kepala sang adik, begitu juga sebaliknya. Mereka menatap jijik Gabriel yang dengan PD-nya menganggap dirinya diperebutkan.

Pedagang bakso yang semula menyiapkan beberapa porsi bakso, kini menyerahkan pesanannya. Zilva dengan semangat menerima bakso dari tangan sang pedagang dan memberi saus serta sambal yang banyak hingga kuahnya menjadi merah kental.

Mangkok yang penuh dengan sambal itu, ia bawa ke dalam rumah dan dengan segera ia memakannya.

Gabriel yang tahu beberapa detik lagi lidah Zilva akan terbakar, ia pun melangkahkan kakinya ke toko kelontong terdekat untuk membeli sekotak susu putih.

Setelah membeli susu, ia pun kembali ke rumah Zilva. Seperti yang ia duga, gadis itu mengusap ingus dan juga keringatnya yang menetes. Keadaannya tak beda jauh pada saat di Taman Cinta.

"Dibilangin jangan makan pedes, malah makan bakso sampai kuahnya kek gini." Gabriel menyendok kuah bakso milik Zilva dan menyeruputnya sedikit. Lidahnya terasa terbakar saat memakan sesendok kuahnya saja, bagaimana dengan Zilva yang sudah menghabiskan setengahnya?

"Hah ... hah ... hah .... Duh, pedes," ucap Zilva sambil mengipasi mulutnya yang sudah memerah dan membengkak.

"Gak waras kamu. Ini pedes banget, cepet minum susunya dan mending pesen bakso lagi yang gak terlalu pedes." Dengan cekatan tangan Gabriel membuka sekotak susu tersebut dan memberikannya pada Zilva.

Gadis itu menenggak habis susunya hingga tak bersisa, namun bakso nerakanya masih tersisa setengah. Ia pun memakan baksonya tanpa menyeruput sedikit pun kuahnya. Alhasil, tak ada bakso yang ia buang secara sia-sia―kuahnya, sih, iya.

"Hm ..., Zilva, besok aku mau ajak kamu ke kebun binatang, mau?" Zilva yang sedang menenggak segelas air putih, tersedak karena ajakan tiba-tiba dari Gabriel. "Duh, pelan-pelan dong, kalau minum."

Zilva menghembuskan napasnya. "Ini ceritanya, kamu mau ajak aku reunian sama para hewan, gitu?"

"Iya, aku mau satuin kalian yang terpisah sejak lama. Kasihan saudara kamu disana yang udah nunggu kamu lama." Gabriel mati-matian menahan tawanya.

"Saudara? Saudara aku cuma si Christ aja. Kata mama juga, kita cuma dua bersaudara, gak ada yang lain." Zilva memandang ke atas berharap bisa mengingat siapa saudaranya yang lain. Namun, beberapa detik kemudian ia tersadar, "Njir, iya aku tahu, aku masih saudaraan sama bison."

Gabriel yang sudah tak mampu menahan tawanya, membiarkan tawanya meledak seketika. Zilva yang melihatnya hanya memandang tanpa ekspresi. Beberapa detik kemudian, Zilva mengambil bantal di sofa dan melemparnya tepat ke kepala Gabriel. Seketika itu, Gabriel meredakan tawanya dan memberikan tatapan teraniaya.

"Ih, gak usah gitu mukanya." Zilva melempar bantal sofa yang tersisa ke kepala Gabriel. "Besok minggu, ya. Hm ..., ya udah, hayuk lah."

Mendengar persetujuan dari Zilva, kepala Gabriel menoleh dengan cepat dan kedua matanya berbinar. "Serius?"

"Hm." Zilva mengangguk.

🍃🍃🍃

Bersambung:)
Vote dan komen?❤

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang