Benang merah takdir mulai mengikatku erat, bahkan mampu membuatku tercekik hingga sekarat.
-Zilva 🐽
♫~♥~♫
Tiga tahun mengemban sekolah farmasi tidaklah mudah, Zilva sudah sering merasakan suka duka selama belajar di sekolah swasta itu. Sekarang ia sudah lulus, walau belum ada gelar apa pun di namanya.
Gadis bertambun yang tubuhnya terbalut kebaya hijau toska itu merasakan kebahagiaan bukan main. Tapi di satu sisi, ia merasakan kesedihan karena harus berpisah dengan semua teman seangkatannya.
Senyum Zilva mengembang, make up tipis yang menempel di wajah bulatnya semakin menambah kepercayaan dirinya. Entah cuma perasaannya atau memang fakta, ia merasa sedikit cantik saat ini.
Gadis itu pada dasarnya memang memiliki wajah yang cantik nan manis, hanya saja kulitnya yang gelap―karena ia tak merawat diri―menutupi kecantikan fisiknya. Tubuh yang gendut itu juga menganggu penampilannya.
“Selamat atas kelulusanmu, sayang.”
Gabriel datang dengan membawa sebuket bunga dan kado untuk Zilva.Dengan pakaian casual yang menempel di tubuhnya, ia menjadi sangat tampan hari ini. Ah, tidak, dia memang tampan dari lahir.
Zilva tersenyum bahagia dan menerima semua hadiah dari kekasihnya, ia sangat bersyukur hari wisuda Gabriel dengannya berada di hari yang berbeda.
“Ayo foto.” Zilva menarik lengan Gabriel, lantas membawanya ke tukang foto yang disediakan sekolah. Setelah beberapa jepretan, ia mengajak Christ dan Laila untuk ikut foto bersama.
“Kamu hari ini cantik banget, Zilva.” Gabriel menatap mata Zilva dalam dan mengusap kedua pipinya.
“Berarti biasanya gak cantik, dong?” Zilva memajukan bibirnya beberapa senti.
“Iya, biasanya buluk banget, heran,” ucap Gabriel dengan santai.
Zilva terdiam dan beberapa kali mengedipkan kelopak matanya. Perkataan Gabriel barusan membuat hati sucinya ternodai. Ah, tapi dia sudah biasa diperlakukan seperti itu.
“Selamat atas kelulusanmu, Vania.”
Zilva menoleh. Netra hitamnya mendapati sosok laki-laki yang sebelumnya pernah ia temui, hanya saja otak kecilnya sangat lambat untuk mengenali laki-laki itu.
“Kamu …? Bentar, aku lupa,” ujar Zilva dengan kedua alis yang menyatu. Ia berpikir sangat keras untuk mengingat nama manusia di depannya.
“Ngapain kamu kesini, Gabe?”
“Ah iya, kamu Gabe!”―Zilva dengan cepat menoleh ke arah Gabriel―“tunggu sebentar. Kamu kenal dia, Gabriel?”
Gabe hanya tersenyum sedari tadi. Ia hanya terdiam melihat kedua manusia yang sangat disayanginya. Sebuket bunga yang digenggam, ia remas karena merasa benci dengan takdir yang rumit ini.
Senyum yang ia pasang belum hilang. Senyum itu berhasil menyembunyikan rasa pedih di hatinya, perasaan yang selama ini selalu menyiksanya secara perlahan.
“Anu, maaf …, buket ini buat kamu, Vania.” Gabe menyerahkan buket itu ke Zilva.
Gadis di depannya menerima dengan ragu. Ia tersenyum canggung dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Netra gadis itu melirik ke arah kekasihnya. Gabriel menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti, ia jadi takut.
“Lo kenal Zilva, Gabe?” tanya Gabriel pada Gabe. Lalu ia menolehkan kepala ke Zilva. “Kamu juga kenal dia, Zilva?”
Zilva dengan cepat menjawab, “ ‘Kan aku udah pernah cerita ketemu dia waktu minum es kelapa di pinggir jalan. Cuma itu aja!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend In My Dream
Teen FictionMIMPI. Semua orang menganggap apa yang ada di dunia mimpi tak akan terjadi di dunia nyata. Tapi sepertinya itu semua tak berlaku bagi Zilva. Gadis bertambun itu dikejutkan dengan kehadiran laki-laki yang mengaku sebagai pacarnya yang sebelumnya ia...