Aku tahu aku harus berjuang sendirian. Tapi tidak dipercaya hingga dituduh olehnya sungguh membuatku terluka.
-Zilva 🐽
♫~♥~♫
Ketukan di pintu kamar berwarna merah maroon itu belum berhasil membangunkan gadis bertubuh besar yang terbaring di ranjang dari hibernasi-nya. Hingga akhirnya sang pengetuk pintu geram dan membuka pintu itu dengan kasar.
Dengan gemas, Laila menekan hidung Zilva agar gadis itu terbangun. Berhasil, gadis itu menggeliat pelan. Tapi sayangnya, Zilva hanya membalikkan tubuh dan melanjutkan tidurnya.
"Vania, bangun! Kalau gak bangun, gak dapet jatah sarapan," ancam Laila.
Sang gadis yang kerap dipanggil Vania saat di rumah itu, dengan segera bangkit dari ranjang dengan mata yang masih tertutup.
"Cepet bangun, ada kakaknya Gabriel di ruang tamu, nungguin kamu."
Zilva dengan cepat membuka matanya karena terkejut. Rasa kantuk yang sebelumnya melekat sudah hilang karena mendengar pernyataan dari Mamanya.
"Ngapain Pak Levi ke sini?" tanya Zilva.
"Gak tahu. Tanya sendiri sana!"
Laila pergi meninggalkan Zilva seorang diri di kamar dengan perasaan antara takut dan penasaran.
Zilva menggelengkan kepalanya, berusaha untuk menghapus rasa khawatir, dan dengan cepat ia bergegas mandi.
Setelah membersihkan dan merapikan diri, Zilva keluar dengan pakaian santai namun sopan. Matanya menangkap sosok Levi yang duduk di meja makan dan asyik berkutat dengan ponselnya.
Zilva dengan hati-hati menarik kursi tanpa menimbulkan decitan agar laki-laki di seberangnya tidak menyadari hawa keberadaannya.
Belum selesai gadis itu mendudukkan dirinya, Levi meliriknya dengan tatapan intimidasi. Bulu kuduk Zilva meremang seketika. Ia benar-benar tak ingin berhubungan dengan apa pun tentang Levi, menatap wajahnya lebih dari tiga detik saja ia tak mampu.
"Ah, hai, Pak Levi ..., " sapa Zilva canggung. "Mohon maaf, Pak. Ke sini karena ada urusan apa, ya?"
"Silahkan dimakan, Nak. Seadanya aja, ya. Kalau tahu kamu ke sini, dari kemarin saya belikan makanan yang banyak, hehe." Laila menaruh semangkok kari ayam berukuran besar di tengah-tengah meja dengan asap yang masih mengepul.
"Nggak usah repot-repot, Tante. Saya terima apa aja yang disuguhin sama tuan rumah. Lagipula sudah lama saya gak makan makanan rumah."
"Kasih dia nasi sama garam aja, Ma," bisik Zilva yang masih bisa didengar jelas oleh Levi.
Laila menampar pelan anaknya. "Hei, yang sopan sama tamu!"
"Bercanda Ma―"
"Selamat pagi dunia!" teriak Christ yang sudah siap dengan pakaian kerjanya.
"Kak Christ, ada tamu, nih! Apa gak malu di depan tamu teriak-teriak kek banci gak laku?!" geram Zilva. Kakak laki-lakinya itu membuat mood-nya hancur kembali.
Levi terbahak dengan kencang hanya dengan guyonan receh dari gadis gendut di seberangnya.
Zilva menoleh kaget. Bahkan membuat suasana di meja makan itu menjadi sunyi. Ia selalu berpikiran bahwa Levi memiliki suatu penyakit di mana laki-laki itu hanya mengenal amarah dan tidak ada yang namanya senyuman, apalagi tawa.
"Anu, Pak Levi ..., maksud kedatangan Bapak kesini apa, ya?"
"Ah ..., saya disuruh Gabriel buat nemenin kamu selama ... lima tahun ...? Gila emang si Gabriel." Levi memijat pangkal hidungnya. "Biar akur juga katanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Boyfriend In My Dream
TienerfictieMIMPI. Semua orang menganggap apa yang ada di dunia mimpi tak akan terjadi di dunia nyata. Tapi sepertinya itu semua tak berlaku bagi Zilva. Gadis bertambun itu dikejutkan dengan kehadiran laki-laki yang mengaku sebagai pacarnya yang sebelumnya ia...