39. Wisuda yang Hampa

94 7 0
                                    

Tiga tahun telah berlalu. Jika dihitung dari keberangkatan Gabriel ke luar kota sudah empat tahun lamanya mereka terpisah.

Zilva yang wajahnya masih dirias tak berhenti memasang wajah murung. Laila yang melihat anaknya sedih sedari tadi, mendekati dan mengusap lembut rambutnya seraya bertanya, "Di hari bahagia ini kok wajahmu sedih terus, sih. Ada apa?"

"Gabriel gak bisa datang hari ini, Ma."

"Mau gimana lagi. Dia kan masih sekolah. Kamu harus sabar, beberapa bulan lagi kamu bisa ketemu dia." Laila tersenyum menenangkan. Tangannya yang mulai mengerut karena usia menggenggam tangan Zilva hangat. "Untuk wisudamu kali ini ada Levi dan sahabat-sahabatmu yang sudah gak sabar kasih ucapan selamat. Kamu bisa telpon Gabriel seharian setelah wisuda nanti. Jadi, hari ini tunjukkin senyummu selebar mungkin, Sayang."

Bibir berwarna merah muda segar itu tersenyum haru. Ia memeluk mamanya erat seakan tak ingin dipisahkan. Pegawai salon yang merias wajahnya memperingati Zilva untuk tidak menangis agar riasannya tidak rusak.

Kebaya berwarna putih bersih dengan bawahan khas batik membalut tubuh Zilva. Rambut sebahunya ditata rapi, membuat kecantikannya semakin terpancar.

Tubuh yang dulu berisi lemak berlebih itu kini menjadi tubuh langsing yang diidamkan banyak wanita. Kulit gelap bak arang jerap itu kini menjadi cerah. Wajahnya yang kusam dan berjerawat itu kini menjadi cerah dan bersinar. Ini semua berkat skin care milik Kak Levi, begitu pikirnya.

"Zilva, aku beliin minum di dep―"

Zilva menoleh. Levi masuk ke salon tanpa aba-aba dan terkejut melihat penampilan gadis itu. Siapa makhluk cantik yang aku lihat saat ini? batin Levi terkesima.

"Ah iya, Kak. Taruh di dekat tasku aja, nanti aku minum. Makasih."

Laki-laki itu menaruh sebotol minuman di atas meja dan keluar dengan pikiran kosong. Pipinya terasa memanas.Ia memasuki mobilnya dan mendinginkan suhu pendingin mobil.

"Ah, kapan terakhir kali aku deg-degan kayak gini ya? Ini bukan hal yang baik. Dia pacar Gabriel." Levi menyentuh dada kirinya seraya berbisik, "Tenanglah jantung, kamu jangan deg-degan karena pacar adikku. Kita cari perempuan lain yang bisa buat kamu kayak gini lagi, oke?"

Levi menjatuhkan tubuhnya di sandaran jok mobil dan memijat pelan pangkal hidungnya. "Sepertinya aku mulai gila karena ngobrol sama jantung."

♫~♥~♫

Wisuda kelulusan Zilva yang telah berhasil meraih gelar diploma itu berjalan lancar. Beberapa sahabat Zilva juga turut hadir dan mengucapkan selamat ke gadis itu.

Terkadang ia mengecek ponsel barangkali kekasihnya mengirimi pesan. Namun nyatanya hingga malam menyapa, tak ada satu pun chat dari Gabriel. Ia pasti akan menerimanya dengan lapang dada walau hanya pesan singkat. Ia kecewa. Sekali lagi. Ia kecewa dengan Gabriel yang tak mengiriminya pesan hingga larut malam.

"Zilva, kamu belum tidur?" tanya Levi ketika melihat Zilva yang masih duduk di kursi teras rumahnya. "Ini sudah malam, cepat masuk. Tambah malam tambah dingin."

"Tapi, Gabriel belum ngabari apa-apa ke aku, Kak."

Levi mengembuskan napasnya. Ia melangkah mendekati gadis itu dan duduk di sebelahnya. Tangannya terulur untuk mengusap lembut rambutnya. "Sekarang tidur dulu, besok dia pasti ngabarin kamu."

Ketika Zilva membuka mulut bersiap untuk menolak, tangan Levi lebih cepat menutup mulut gadis itu hingga membuatnya terbungkam. "Gak pakai ngebantah dan cepat tidur. Itu mata kamu udah lelah kayak gitu."

Zilva memilih pasrah. Ia berjalan lesu ke arah kamar dan tidur dengan cepat karena memang dari awal ia mengantuk.

Di satu sisi, Levi dengan cepat mengambil ponselnya dan menelpon adiknya yang menyebalkan itu. Namun sayangnya, adiknya itu sedang berada di panggilan lain. Kerutan amarah di dahi Levi semakin menambah.

Dasar sok sibuk, batinnya menggerutu. Beberapa kali ia menelpon, namun status 'sedang di panggilan lain' itu tak kunjung berganti. Hingga akhirnya ia mengiriminya pesan yang berisi: Telpon Zilva besok pagi atau aku blokir atm-mu!

Levi segera masuk dan tidur. Semoga ancaman itu manjur, gumamnya sebelum tidur.

♫~♥~♫

Pagi telah menyapa. Dering ponsel membuat gadis itu terbangun. Ia mengangkat telponnya tanpa melihat karena matanya yang masih setengah mengantuk.

"Halo?"

"Zilva? Ada apa kamu kemarin sampai telpon berkali-kali?"

Zilva membuka matanya perlahan. Mengedipkannya sebentar kemudian duduk dengan tatapan kosong karena bangun tidur.

"Kamu siapa?" tanyanya masih setengah sadar.

"Ini Gabriel, Zilva."

"Gabriel, ya? Siapa makhluk itu? Siapa makhluk yang udah buat aku kecewa itu? Siapa makhluk yang lupa sama aku itu? Sebentar aku mau ingat-ingat mahkluk yang bernama Gabriel itu. Aku taruh di otak sebelah mana, ya?"

Terdengar decihan kecil dari mulut Gabriel. "Kamu kenapa, sih? Kamu butuh apa?"

"Sebentar, aku mau cuci muka dulu biar sadar, jangan matiin atau kusantet online kamu."

Gabriel menurut dan menunggu beberapa saat. Setelah dirasa segar, Zilva kembali mengambil ponselnya dan menempelkannya ke telinga.

"Jadi, kira-kira alasan apa lagi ya yang akan kudengar dari mulut Gabriel?" sindir Zilva. "Kenapa ya, padahal kemarin gak bisa datang waktu wisuda, tapi gak telpon atau chat sama sekali gitu. Wah, kapasitas tentangku di otakmu sudah penuh ya sampai dilupain. Duh, jadi sedih."

"Wisuda? Kemarin kamu wisuda?"

Keheningan melingkupi keduanya. Zilva tak ingin membuka suaranya sampai Gabriel yang memulainya.

"Astaga, maafkan aku, Zilva. Kemarin aku ada urusan yang gak bisa ditinggal."

Zilva hening sesaat. "Oh oke. Aku gak akan merengek minta untuk diprioritaskan. Tapi tetep aja sakit di hati sih. Kamu cuma chat 'happy graduation' aja aku udah seneng loh." Ia beranjak dan pergi ke teras rumahnya. "Tapi ya udahlah, kita udah dewasa juga. Aku gak bisa atur-atur kamu. Lakukan sesuai keinginanmu."

"Makasih, Zilva. Omong-omong sampai sini aja, ya? Aku harus telepon orang penting."

Tanpa balasan apa-apa, Zilva langsung memutuskan panggilannya. Kerutan amarah di dahinya semakin bertambah. "Apa-apaan cowok itu?! Dua minggu gak pernah ngabari apa-apa, sekalinya telepon malah kek gitu."

"Vania, kamu kok belum siap-siap?"

"Siap-siap? Ke mana, Ma?" tanya Zilva

"Loh, kata Levi hari ini kamu mau ikut dia ke rumah sakit?" tanya Laila balik.

"Besok aja, Ma. Aku gak ke rumah sakit hari ini," sahut Levi dengan tangan yang sibuk merapikan dasi. Laila yang melihat itu dengan segera mengambil alih dan membantunya.

"Gak tau kenapa aku masih belum biasa denger Kak Levi panggil Mama dengan sebutan 'Mama'." Zilva beranjak dari duduknya dan berjalan santai ke arah kamar mandi berniat membersihkan diri. "Ah! Kak Levi hari ini ke kantor mana?"

Levi yang dasinya sudah rapi menoleh ke Zilva dan mengerutkan sedikit alisnya. "Hari ini aku meeting sama beberapa kolega di restoran sama café. Emangnya kenapa?"

Mendengar itu, Zilva segera berlari kecil menghampiri Levi dan memasang raut memohon. "Aku mau ikut. Boleh ya, Kak? Aku janji gak akan ganggu Kak Levi, deh. Anggap aja aku bayangan yang ngikutin Kak Levi ke mana pun. Boleh, ya? Please."

"Iya deh terserahmu." Levi mengusap singkat rambut Zilva. "Aku gak tanggung jawab kalau kamu bosen di sana."

"Yahuu ..., " pekiknya senang. Ia berlari ke arah kamar mandi dan membersihkan dirinya.

"Mandinya cepetan ya, nanti telat."

"Iya, Abang Levi. Hahahaha."

🍃🍃🍃

Bersambung :)
Vote dan komen? ❤

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang