49. Kakak yang Tangguh (1)

133 15 2
                                    

Ceritaku panjang banget. Siap dengerinnya?

-Levi

♫~♥~♫

Sudah sebulan Zilva dan Gabriel menjalani hubungan yang renggang. Keduanya sama-sama enggan untuk menghubungi. Bukan enggan, tapi canggung. Di satu sisi, Zilva juga masih teguh ingin mengetahui fakta awal mereka pacaran.

Zilva yang libur kerja hari ini hanya duduk sembari memainkan ponselnya. Levi datang dengan pakaian rapi seperti biasa dan menghampiri Zilva.

"Udah mandi?" Levi bertanya.

Zilva mengangguk. "Mau ajak aku ke mana hari ini, Abang Levi?"

"Aku mau ajak kamu ke pabrik yang bentar lagi mau bangkrut."

"Mau bangkrut? Ngapain ke sana?"

"Gak pakai tanya dan cepetan siap-siapnya." Zilva beranjak dengan terpaksa. Tangannya menggaruk kepala bingung.

Setelah Zilva siap, mereka akhirnya berangkat dengan mobil milik Levi. Laki-laki yang sedang fokus mengendarai itu sesekali menatap Zilva lekat.

"Sampai sekarang belum baikan sama Gabriel?" tanya Levi tiba-tiba.

Zilva menoleh sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke jalanan di depan. "Belum. Salah sendiri dikasih syarat gampang gak dia lakuin. Emang dasar Gabriel 3B!"

"Tiga B? Apa itu?"

"B*engsek, B*jingan, B*ngsat!"

Bukannya tersinggung karena adiknya dihina, Levi justru terbahak. Setelah puas tertawa ia berucap, "Tapi aku bener-bener kecewa sih sama Gabriel yang berani selingkuh sama sang primadona SMA Zionathan."

Zilva menoleh kaget. "Kak Levi kenal sama Maribella?"

"Kamu gak lupa kan kalau SMA itu aku yang punya? Pasti aku kenal dong sama murid berbakat itu."

Zilva tiba-tiba menjadi murung. "Ah ... aku kalau dibandingin sama Maribella emang gak ada apa-apanya. Udah cantik, ceria, cerdas pula. Mana pernah aku menangin olimpiade kek gitu. Hidup tenang waktu sekolah aja aku udah bersyukur banget. Jadi insecure banget sih sama dia."

Zilva memang selalu melihat sisi buruk dirinya sendiri. Sudah berulang kali ia ditegur oleh orang di sekitarnya untuk terus percaya diri. Namun apa daya, semua hal yang ia lakukan tak selalu berjalan mulus hingga membuatnya mudah putus asa.

Zilva tak sadar jika dirinya disayangi oleh banyak orang. Mereka semua nyaman ketika bersama Zilva yang jujur, apa adanya dan selalu mengutamakan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri.

"Kamu .... Kenapa kamu kayak gitu? Setiap orang itu sudah dikaruniai bakat masing-masing dan itu gak cuma satu. Kamu gak perlu merasa down gitu dong. Kamu cuma kurang mencintai diri sendiri aja."

Zilva semakin mengerucutkan bibirnya. Ia benar-benar bosan dinasihati. Ia langsung mengalihkan pembicaraan dengan bertanya, "Kita mau ngapain ke pabrik yang mau bangkrut, Kak?"

Levi menyunggingkan senyum. "Investasi baru."

"Parah ini orang. Otaknya benar-benar menatap jauh ke masa depan."

Levi tertawa pelan. "Aku pikir kamu bakal bilang aku gila harta."

"Enggak, aku justru kagum sama Kak Levi karena gak ngandalin satu bisnis aja. Asal ada peluang, terobos aja lah!"

Levi tertawa kecil mendengar kalimat itu dari Zilva.

Selama beberapa menit dalam perjalanan, akhirnya mereka tiba di sebuah pabrik dengan ukuran yang termasuk luas. Mereka disambut oleh satpam di sana dan Levi pun memarkirkan mobilnya di halaman parkir.

"Ayo kita masuk," ajak Levi seraya membuka pintu mobil.

Mereka memasuki pabrik yang memproduksi sepatu itu. Zilva celingukan karena ini kali pertamanya memasuki sebuah pabrik.

Saat sudah berjalan di lantai atas pabrik, tiba-tiba terbesit pertanyaan di pikiran Zilva, "Kak Levi dulu awalnya gimana sih bisa sampai sesukses ini?"

"Hm ... ceritanya panjang banget. Siap dengerinnya?"

Zilva mengangguk semangat. Dari dulu ia sangat penasaran dengan proses Levi pada awalnya membangun sebuah bisnis hingga akhirnya menjadi sukses seperti sekarang.

Levi melihat arloji di pergelangan tangan kirinya kemudian berkata, "Untungnya masih ada waktu buat nyeritain ke kamu."

Gadis itu menarik lengan Levi dan mengajaknya duduk di kursi panjang di dekatnya. "Jadi gimana?"

Levi mengembuskan napas pelan. "Waktu aku masih kelas satu SMA dan Gabriel masih umur sekitar sebelas tahun, papaku kasih aku dua pilihan: ikut beliau ke Autralia dan ninggalin Gabriel sendirian, atau tetap di sini dengan uang ratusan juta―kalau gak salah tiga ratus―dan satu mobil untuk biaya hidupku sama Gabriel."

Zilva mengernyit. "Tunggu bentar, tapi kenapa papa kalian pergi ke Australia dan tega ninggalin kalian anaknya?"

Terdiam sebentar, lalu Levi melanjutkan, "Gabriel telah melakukan sebuah kesalahan besar waktu itu. Semua keluarga membenci Gabriel termasuk aku. Tapi aku tetap gak tega ninggalin bocah sekecil itu di sini sendirian. Akhirnya aku memilih untuk menemani Gabriel dengan uang yang diberikan papa."

"Kesalahan? Sebesar apa kesalahannya sampai Kak Levi pun benci sama Gabriel?"

"Itu biar Gabriel sendiri yang cerita, karena kamu harus tahu dari sudut pandang dia sendiri biar gak ada kesalahpahaman."

Mana mungkin dia mau cerita hal beginian, batin Zilva menggerutu. Hingga akhirnya ia berkata, "Gak peduli ama Gabriel. Lanjutin, Kak."

"Lalu karena aku masih polos dan gak tahu apa-apa, aku minta tolong sama pamanku buat bantu aku ngelola uang modal itu. Sialnya, b*jingan itu malah bawa lari sebagian besar uangku dan sampai sekarang aku gak tahu dia di mana. Udah mati mungkin." Levi mengusap wajahnya kasar. "Karena itu aku paling benci dibohongi. Kamu juga tahu hal itu, 'kan?"

Zilva mengangguk yakin. Ia sangat paham bahwa Levi sangat menakutkan ketika melontarkan pertanyaan yang membutuhkan kejujuran. Sebab hal itulah, Zilva selalu menjawab dengan jujur daripada harus berhadapan dengan sisi Levi yang menakutkan.

"Di situ aku sempat hampir gila karena uangku tinggal sedikit dan aku belum bangun bisnis apa pun. Akhirnya aku jual mobil dan ganti dengan motor buat nambah uang tabungan. Aku kasih uang dua juta ke Gabriel untuk sebulan dan aku suruh dia bagaimana pun caranya harus cukup. Selain itu aku juga suruh dia hemat listrik, air dan lainnya. Miris banget kehidupan kita waktu itu."

Raut wajah Zilva turun karena ikut sedih ketika mendengar hal itu. "Dua juta cuma buat makan aja waktu itu?"

"Enggak. Lima ratus ribu buat bayar SPP sekolah dan sisanya untuk makan, transport dan lainnya. Untungnya biaya SPP ku sama dengan Gabriel. Jadi gak terlalu berat."

"Kalian berdua hebat banget. Pantes kalian kaya tapi gak sombong, ternyata pernah susah dulunya."

"Iya. Ini belum selesai. Karena aku takut uangku semakin habis, aku putusin kerja part time di sebuah resto. Pagi aku sekolah, sorenya aku kerja. Begitu terus selama setahun. Waktu itu aku jadi sedikit tertinggal pelajaran di sekolah karena kelelahan bekerja sepanjang malam. Aku jadi anak yang hanya tahu gimana caranya bisa dapat uang."

Zilva menepuk tangan kagum. Ia terharu mendengar perjuangan dari seorang Levi waktu SMA. Yang saat teman-teman sebayanya asyik bermain, ia malah sibuk bekerja hingga larut malam.

"Setelah setahun, tiba-tiba pemilik resto itu manggil aku untuk ke ruangannya. Kamu ingat Papa si culun itu kan?"

🍃🍃🍃

Bersambung :)
Vote dan komen? ❤

Cerita Levi saking panjangnya sampe aku bagi 3 part :')

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang