19. RUMAH SAKIT.

28.6K 1.5K 4
                                    

HAPPY READING 🧡

*
*
*

Sejak tiga puluh menit yang lalu, Aksara tidak berhenti mondar mandir di samping brankar yang Kanaya tempati karena gadis itu tak kunjung membuka matanya. Sudah hampir tiga jam gadis itu tak sadarkan diri.

Menurut penjelasan dokter, Kanaya kehabisan oksigen dan terserang panik, hingga gadis itu merasa sangat sesak dan pusing sampai tak sadarkan diri. Meski begitu, dokter Atalla bilang kondisi Kanaya tidak parah.

Selang oksigen terpasang di hidung Kanaya, kedua mata indah itu terpejam diiringi oleh helaan nafas yang teratur.

Melihat bekas cekikan di leher Kanaya membuat amarah Aksara semakin mencuat. Saking emosinya, dia bahkan tidak mengucapkan terimakasih pada Haikal yang sudah membantunya meskipun dalam kondisi bingung.

Melihat ada pergerakan, Aksara melangkahkan kakinya ke brankar Kanaya, lalu tangan kanannya bergerak mengelus puncak kepala Kanaya lembut, tak lupa tangan satunya lagi mengelus punggung tangan Kanaya menggunakan ibu jari.

"Aya?" Panggil Aksara pelan.

Sontak Kanaya langsung menoleh ke arah sampingnya dimana Aksara berada, lalu memekik membuat Aksara terkejut.

"PERGI!! TOLONG PERGI!!"

"JANGAN KESINI! JANGAN DEKATI SAYA!!"

Aksara mematung, sedetik kemudian cowok itu merengkuh Kanaya kedalam pelukannya, dan melayangkan kecupan seringan kapas tepat di atas kepala Kanaya.

Aksara masih berpikir, apa yang terjadi dengan Kanaya hingga memekik seperti orang ketakutan seperti tadi? Apa ada hubungannya dengan seseorang yang tadi dengan lancangnya membawa Kanaya pergi hingga pulang dengan kondisi seperti ini.

"Shhh, tenang. Ada gue" bisik Aksara berusaha menenangkan Kanaya yang mulai menangis.

Setelah cukup tenang, Kanaya melepaskan diri dari pelukan Aksara dan mengusap pipinya yang basah.

Aksara memegang kedua bahu Kanaya agar gadis itu melihatnya.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" Tanya Aksara pelan, dia memandang Kanaya dalam.

"Kenapa tadi lo bisa ada di sana?" Tanya Aksara khawatir.

Kanaya mulai menangis lagi, membuat Aksara dengan sigap mengusap-usap bahu bergetar milik gadis itu.

"Jelasin pelan-pelan" pinta Aksara lembut.

Sedangkan Kanaya masih berusaha meredakan isak tangis, karena nafasnya mulai sedikit sesak. Kanaya berusaha menenangkan diri dengan mengatur nafas.

Usapan di bahu gadis itu masih bertahan, Kanaya terbatuk-batuk, dengan cepat Aksara menepuk-nepuk punggung Kanaya pelan.

"Nggak usah di paksain" ujar Aksara pada akhirnya, walaupun dalam hati dirinya sangat ingin menghajar lagi pria yang sudah membuat Kanaya seperti ini.

"Lo jangan bilang mama, ya" pinta Kanaya memohon, suaranya terdengar parau.

"T-tadi gue mau pergi ke tempat bakso langganan gue. Tapi, waktu gue sampe, ternyata tutup. Terus tiba-tiba dia dateng dan langsung narik tangan gue kenceng banget Sa.. gue sempet berontak, tapi setelah itu gue nggak ngerasain apapun, pas gue bangun gue udah ada di dalem kamar dia.. hiks..." Kanaya mulai bercerita dengan masih disertai isak tangis.

"Dia hampir perkosa gue, waktu dia keluar gue langsung hubungin lo.. hiks... untung lo dateng tepat waktu... Hiks" pecah sudah tangis Kanaya. Jika tadi Aksara telat lima menit saja, mungkin saat ini Kanaya sudah bunuh diri.

Tangan Aksara mengepal, rahangnya mengeras dengan gigi yang bergemeletuk.

Berani sekali pria itu mengganggu miliknya!

Cowok itu mengusap pipi Kanaya yang juga memerah, tangan kanannya dia gunakan untuk mengangkat dagu Kanaya agar lebam di leher gadis itu terlihat dengan jelas.

"Ini..."

"Di pukul, di tampar, di cekik" jelas Kanaya langsung memeluk Aksara dengan erat, wajahnya dia sembunyikan tepat pada perut Aksara dengan kedua tangan yang melingkar di pinggang cowok itu. kanaya sudah paham maksud Aksara sebelum cowok itu mengeluarkan pertanyaannya.

Aksara terkejut, kurang ajar sekali pria itu!

"Gue bakal bales dia" gumam Aksara, tetapi mampu didengar oleh Kanaya karena posisi mereka masih berpelukan.

"Jangan!" Cegah Kanaya. Aksara bisa merasakan gadis itu menggelengkan kepala di perutnya, lalu mendongak menatap Aksara dengan tangan yang masih melingkar di pinggang cowok itu.

"Jangan di perpanjang lagi, Sa. Gue nggak mau lo kenapa-napa."

"Tapi dia hampir bunuh lo, Ya!"

"Gue tau. Gue tau lo marah sama dia, dan gue tau lo pasti nggak nyangka dia sampe nekat kayak gitu. Tapi please, jangan di lanjutin lagi, gue nggak mau dia makin dendam dan semuanya makin runyam."

Aksara hanya mengangguk pasrah, benar apa Kanaya.

Lagian, orang itu juga bukan tandingannya. Orang itu tidak ada apa-apanya dibandingkan Aksara.

"Akhh" pekik Kanaya, membuat Aksara panik.

"Lo nyenggol selang infus gue, Aksa... Sakit" rengeknya seraya menatap tangan sebelah kirinya.

Sebenarnya, Kanaya tidak perlu di rawat inap di rumah sakit, cukup meminum obat yang diresepkan oleh dokter atau di rawat di rumah saja tidak apa. Tetapi Aksara memaksa agar Kanaya di rawat secara intensif selama beberapa hari. Dan lagi, suhu tubuh Kanaya tiba-tiba meningkat dan dokter mengatakan Kanaya juga kekurangan cairan. Pantas saja Kanaya sering merasa lemas.

Kembali pada dua orang berbeda gender itu, Aksara kini mengusap punggung tangan Kanaya, dia meringis pelan. Aksara lupa jika jarum infus itu terpasang di tangan Kanaya.

Aksara menarik sebuah kursi dan diletakan di samping brankar Kanaya. Gadis itu sudah berbaring lagi karena tadi dia mengeluh pusing.

Selang beberapa menit, seorang suster masuk dengan mendorong troli yang berisi makanan untuk pasien. Aksara melihat jam di ponselnya, ternyata sudah memasuk jam makan malam.

Setelah suster itu keluar kamar, Aksara membuka tempat makan itu hendak menyuapi Kanaya.

Dengan gerakan cepat, Kanaya menutup mulut dan menggelengkan kepalanya berkali-kali.

"Gue nggak mau makan itu" Aksara menghela nafas, lalu meletakkan makanan itu pada nakas di samping brankar.

"Lo mau apa?"

"Nasi goreng yang di deket rumah."

"Nggak. Lo lagi sakit" tolak Aksara.

"Gue nggak sakit, lo aja yang berlebihan. Tadi, kan, kata dokter ngga perlu di rawat juga nggak papa."

"Tapi lo demam, lo sakit, Aya."

"Gue nggak sakit" kekeh Kanaya.

Aksara menyugar rambutnya, rumah sakit ini cukup jauh dari rumah Kanaya. Aksara malas sekali, dia bahkan masih mengenakan baju basket.

"Aksaa.."

"Sa... Please. Gue laper."

"Aksaraaa."

"Ya, ya?"

Aksara masih diam dengan raut wajah datar seperti biasa.

Tak mendengar sahutan dari manusia di sampingnya, Kanaya menunduk dan merubah raut wajah melasnya menjadi murung.

"Yaudah, nggak usah. Lo juga capek abis latihan" katanya pelan.

Mendengar ucapan pelan itu, Aksara langsung merasa tak enak melihat wajah murung Kanaya, tetapi ia juga kesal karena Kanaya keras kepala.

"Fine!" Aksara berdiri membuat senyuman manis Kanaya merekah.

"Yeay, makasih suami" pekiknya riang, tak menyadari bahwa Aksara sedikit salah tingkah.

***

Jum'at 02 Juli 2021.


AKSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang