Adnan memasuki ruang cockpit berniat mencari Daffa yang belum juga turun dari pesawat yang terparkir di apron sejak berjam-jam lamanya setelah landing dari Malang.
Sohibnya itu tidak menjawab panggilannya, meski tahu bahwa ponsel Daffa sudah dinyalakan sejak tadi. Tidak ada alasan khusus sampai-sampai Adnan mau repot-repot mencari Daffa ke mana-mana. Adnan hanya merasa cemas, karena belakangan ini dirinya selalu mendapati Daffa yang terlihat banyak pikiran.
Langkahnya terhenti saat mendengar suara Daffa di balik jumpseat cockpit yang tengah berbicara dengan seseorang di telepon. Mendengar bahasa Inggrislah yang digunakan Daffa membuat Adnan penasaran dengan siapa panggilan tersebut tersambung.
"Jangan. Jangan lakukan itu lagi," ujar Daffa dengan nada cemas, membuat Adnan mengernyit. "Hidupmu terlalu berharga untuk kau akhiri. Kumohon, demi apa pun ingatlah Tuhanmu."
"Shit!" umpat Daffa untuk pertama kalinya dalam hidup. Namun, buru-buru ia beristigfar seraya menyugar rambutnya dengan gerakan sedikit kasar. "Pemikiranku tentangmu ternyata salah. Alih-alih cerdas, kau ternyata begitu bodoh! Mengapa kau selalu putus asa, ha?!"
Adnan terkejut dengan sikap tak wajar yang dilakukan sohibnya itu. Bahkan seingatnya, Daffa tidak suka mengumpat atau berkata kasar sekalipun.
Menyadari ada yang mengawasinya, Daffa yang sedang bertelepon dengan Aiyla langsung memutuskan panggilan setelah berkata bahwa dirinya akan menelepon ketika sudah di rumah nanti. Perlahan kepalanya menoleh ke belakang dan menemukan Adnan yang sedang berdiri tak jauh dari tempatnya dengan tatapan penuh kebingungan.
"Kenapa berdiri di sana?" tanyanya santai sembari mengambil topi pilot dan juga air mineral dalam botol yang tersisa setengah.
"Nggak," jawab Adnan seraya menggeleng singkat. "Gue cari-cari lo dari tadi, tahunya kata salah satu pramugara lo ada di apron. Jadi, gue kemari."
Perlahan Daffa beranjak dari jumpseat cockpit dan menghampiri Adnan. "Apa yang kamu dengar?"
"Tadi lo ngobrol sama siapa, Ndan?" tanya Adnan tak ada keraguan.
"Teman," jawab Daffa singkat sebelum akhirnya melewati Adnan, keluar dari ruang kerjanya dan menghampiri pintu pesawat yang di luarnya sudah disediakan tangga cukup tinggi untuk turun. Adnan pun menyusulnya.
Menggeret koper yang sudah lebih dulu diturunkan, Daffa berjalan di samping Adnan yang masih diam. "Tatjana apa kabar? Katanya, seminggu ini kamu pulang kampung."
Adnan mengangguk. "Jana baik-baik aja, Ndan. Orangtua gue juga."
"Alhamdulillah," Daffa terdiam sejenak. "Oh, ya. Saya mau tanya sesuatu boleh?"
"Kenapa? Gue lihat-lihat, belakangan ini lo kayak banyak pikiran."
"Cara untuk menghibur seorang perempuan itu ... bagaimana?" Daffa sedikit ragu, tetapi sepertinya hal itu perlu ia tanyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNWORTHY [TAMAT]
Romance[Seri 2 | Nuraga / Book2*] "Kita pergi sekarang!" pekik lelaki itu. Aiyla mengangguk tanpa ragu. Ia rasa, bersama lelaki ini akan jauh lebih aman daripada bersama keluarganya sendiri. - Harap yang tercipta akibat diselamatkan dan juga diberi kehidu...